Muse Buzz :
Home » » Sufisme Dari Zaman ke Zaman

Sufisme Dari Zaman ke Zaman


islampos.com—SUFISME atau Tasawwuf (bahasa Arab: تصوف) adalah, menurut para penganutnya, sebuah dimensi mistik dalam Islam. Seorang praktisi tradisi ini umumnya dikenal sebagai seorang sufi (صوفي).
Tokoh sufi klasik mendefinisikan tasawuf sebagai “ilmu yang tujuannya adalah memperbaiki hati dan menjauhkannya dari semua yang lain kecuali Allah.”
Ahmad bin Darqawi Ajiba mendefinisikan sufi sebagai “ilmu pengetahuan yang bisa membantu seseorang mengetahui bagaimana perjalanan menuju hadirat Tuhan, memurnikan diri sendiri dari kotoran batin, dan memperindahnya dengan berbagai sifat terpuji.”
Sufi klasik ditandai dengan keterikatan mereka terhadap zikir. Sufisme mendapat banyak pengikut sebagai reaksi terhadap keduniawian di awal Kekhalifahan Umayyah (661-750 M. Gerakan sufi menyebar ke beberapa benua dan kebudayaan lebih dari seribu tahun yang lalu, pada awalnya melalui bahasa Arab, namun kemudian melalui bahasa Persia, Turki dan selusin bahasa lain.
Menurut Idries Shah, filsafat sufi bersifat universal, akar-akarnya mendahului timbulnya agama Islam dan agama modern lainnya. Beberapa muslim menganggap Sufisme di luar lingkup Islam.
Untuk memasukki jalan tasawuf, para pencarinya memulai dengan mencari seorang guru. Para ahli dan penganut tasawuf sepakat bahwa tasawuf tidak dapat dipelajari melalui buku-buku. Untuk mencapai keberhasilan dalam Sufisme, seorang murid biasanya harus tinggal bersama dan melayani gurunya selama bertahun-tahun. Misalnya, Baha-ud-Din Naqshband, dianggap sebagai pendiri aliran Naqshbandi, melayani guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi, selama 20 tahun, sampai as-Samasi meninggal.
Contoh lain adalah, para calon pengikut aliran Mevlevi akan diperintahkan bekerja di dapur sebuah rumah perawatan bagi masyarakat miskin untuk 1.001 hari sebelum menerima instruksi spiritual, dan 1.001 hari lainnya diharuskan menyepi dari dunia luar sebagai prasyarat.
Beberapa guru, terutama ketika menangani audiens yang lebih umum, atau campuran kelompok Muslim dan non-Muslim, membuat ekstensif menggunakan perumpamaan, alegori, dan metafora. Meskipun pendekatan antara sufi berbeda, secara keseluruhan Sufisme selalu berkaitan dengan pengalaman pribadi langsung, dan oleh karena itu kadang-kadang dibandingkan dengan lainnya, bentuk-bentuk non-Islam mistik (misalnya, seperti dalam buku-buku Sayyed Hossein Nasr).
Awalnya, kekhasan sufi adalah tinggal di masjid dan mengajar sekelompok kecil murid. Sejauh mana Sufisme dipengaruhi oleh Hindu Buddha dan mistisisme, dan contoh pertapa Kristen dan rahib, diperselisihkan. Pada tahap awal pengembangannya, tasawuf dimaksudkan tidak lebih dari sekadar internalisasi Islam. Menurut satu perspektif, tasawuf adalah interprestasi secara langsung dari Al Qur’an, terus membacanya, dan menyepi atau memisahkan dari dunia luar.
Dari sudut pandang Sufi tradisional, ajaran-ajaran Sufisme diyakini hanya terjadi pada mereka yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengalaman langsung dari Tuhan, yang diturunkan dari seorang guru kepada muridnya selama berabad-abad. Uwais al-Qarni, Harrm bin Hian, Hasan Basri dan Sayid bin Al-Mussib dianggap sebagai Sufi pertama di generasi awal Islam. Harits al-Muhasibi adalah orang pertama yang menulis psikologi tentang moral. Rabia Basri dikenal sufi yang cinta dan semangat hidupnya untuk Allah, dan dinyatakan melalui puisinya. Dan Bayazid Bustami merupakan salah satu teoretisi pertama tasawuf.
Sufisme memiliki sejarah panjang sebelum berubah menjadi ajaran tariqat pada Abad Pertengahan awal. Gaya dan tradisi sufisme yang dikembangkan dari waktu ke waktu, mencerminkan perspektif yang berbeda.
Praktik-praktik Sufi sangat bervariasi. Hal ini karena berhubungan erat dengan doktrin seorang guru tertentu. Konsensus yang berlaku di antara para pelaku tasawuf adalah bahwa para pencari atau penganutnya tidak dapat menuntun dirinya sendiri, dan selalu sangat berbahaya untuk melakukan salah satu praktik sendirian.
Sebagian berpendapat dalam Islam, bahwa tasawuf adalah menyimpan dunia di tangan, bukan di hati. Artinya, urusan dunia tetap dijalankan tapi untuk tujuan akhirat, bukan tujuan akhir. Tetapi pada perkembangannya, banyak juga para sufi yang malah benar-benar meninggalkan urusan dunia sepenuhnya, dan hanya fokus pada urusan akhirat saja.
Share this article :

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dewa Copas - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template