Muse Buzz :
Home » » Sikap Hidup Imam Ali

Sikap Hidup Imam Ali



Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah ma­nunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat taqwanya kepa­da Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyan­jung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoal­annya, Imam Ali r.a. menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu."
Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping me­nunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.
Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tem­pur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencer­minkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.
Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Be­narlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya de­ngan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam pepe­rangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."
Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: "Bukti keberani­an ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya ke­bohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbi­cara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."
Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam meng­hindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-­kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya ber­asal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.
Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari je­marinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sam­bil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya"
Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan ke­padanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"
"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu mi­num susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti."
Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sa­ngat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdul­lah bin Rafi' menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia se­dang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku ber­tanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?"
"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan."
Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun ber­warna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.
Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan seje­nis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah de­ngan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!"
Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-be­nar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama seka­li tidak menggiurkan seleranya.
Ibadah
Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan ba­nyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.
Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak ter­pengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. ber­sembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak ­panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang ber­jatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-­hitaman.
Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepa­da Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan se­penuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucap­annya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.
Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"
Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: "Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w."
Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, 'Urwah bin Zubair menge­mukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:
Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-se­la batang kurma yang sangat lebat: "Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba­tiba aku mendengar
suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, beta­pa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak do­saku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'"
"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di te­ngah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan ke­ampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahan­ku."
Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan ku­balik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."
Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaan­nya?"
Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa "dia sedang pingsan, ka­rena sangat takut kepada Allah!"
Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan memba­wa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang ke­padaku dan aku menangis. Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?"
"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.
"Hai Abu Darda," ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagai­manakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk meng­hadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang ber­buat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya."
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain," sahut Abu Darda.
Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul ­Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda ten­tang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. mencerita­kan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:
"Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepan­jang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, meng­arahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.
"Hai Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadi­kan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, men­jadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"
Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembah­yang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggal­kan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. menga­takan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya."
Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang un­tuk beribadah."
Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rin­du kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup ber­tauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.
Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya seke­dar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah mene­gaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang ber­ibadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia mer­deka!"
Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para peng­ikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan ko­toran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai ma­ta air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat ke­pada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-­kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya" (S. Thaha: 132).
Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sam­bil berkata: "Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!"
Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?"
"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a. "Sebab anda memanggil­ku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!"
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian itu! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah mem­beri hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah menge­luarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang!"
Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ke­taqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.
Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk men­jatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".
Jujur dan Adil
Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.
Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benar­benar miliknya. Ia menegaskan: "Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiah­kan kepada orang lain."
Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong."
Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: "Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?"
Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu me­mang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sam­bil tersenyum: "Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, te­tapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan."
Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pu­lang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencer­minkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nas­rani itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, be­nar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!" Ke­mudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: "Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini ke­punyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku meng­ikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh sa­lah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal."
Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: "Karena anda se­karang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!"
Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah ke­mudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang mus­lim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.
Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah men­jadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah di­nyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pan­dangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manu­sia adalah hamba Allah yang sama derajat.
Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.-- menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang keda­tangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk mem­beli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar."
"Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar meng­ambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wa­dah madu ini!' Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: 'Panggil Husein!'"
Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera meng­ambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?" Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas ma­du. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan."
Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati putera­nya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini ma­du yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah di­ambil!"
"Demi Allah, demikian kata Aqil, "seolah-olah seka­rang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpul­kan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali ber­kata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.[1] Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja untuk­mu!"
Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ter­nyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja di­bakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluarga­mu."
Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar ce­rita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!"
Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.
Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: "Aku ini orang butuh, orang miskin berilah pertolongan kepadaku."
"Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian ber­sama kaum muslimin lainnya," jawab Imam Ali r.a.: "Engkau pasti kuberi."
Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: "Ba­walah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-ba­rang yang ada di dalamnya!"
Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?"
"Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?" jawab Imam Ali r.a.
"Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam.
"Terserah," jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.
Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan ber­bicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawi­yah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: "Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah memin­ta kepada Ali supaya memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agama­nya!"
Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak se­gan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawi­yah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah ber­tanya kepada Khalid bin Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?"
"Disebabkan oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia sanggup menahan sabar bila sedang ma­rah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul Muhriqah."
Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab'iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pe­muka-pemuka Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu
itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah ber­kata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-­pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mam­pu menjawabnya."
Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan: "Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."
Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: "Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?"
Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecer­dasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manu­siawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menaf­sirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hida­yat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan ber­takwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan iba­dah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "seorang suami dari wa­nita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w."
Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat ma­nusia sampai hari kiyamat."
Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda ber­buat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"
"Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau mengu­rangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."
'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makan­an anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."
Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'"
"Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah yang ber­sifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."
Harun bin Sa'id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mem­punyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku."
"Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pa­manmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta."
Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya de­ngan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak meng­istimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-ka­dang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.
Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia ma­suk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain aku!" Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perem­puan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepada­nya: "Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali menjawab: "Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!"
Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan se­jarah yang ditulis oleh Abu Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. me­minta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapat­nya: "Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun."
Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar se­kali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa peme­rintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.
Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelum­nya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terke­muka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-­orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.[2]
Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah di­pergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu sudah me­rupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan ke­sempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim."
Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: "Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Jangan­lah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan me­lunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu da­lam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!"
Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : "Da­tangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah ber­hadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hen­daknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya'"
"Jika orang yang bersangkutan menjawab 'tidak', jangan­lah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab 'ya', pergi­lah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Jangan­lah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa se­izin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ter­nak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksa­nya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang ber­kuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian ber­buat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya."
"Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilih­annya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!"
Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan ama­natnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalah­gunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.
Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidup­an Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia me­nerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipo­tong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

Sikap Hidup Imam Ali
Disadur dari buku :
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini


Share this article :

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dewa Copas - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template