Muse Buzz :
Home » » Multikulturalisme sebagai Ideologi

Multikulturalisme sebagai Ideologi

Multikulturalisme sebagai Ideologi


ideology

Membaca Keberagaman dengan Kaca Mata
Teori Hegemoni, Ideologi, dan Struktur Sosial
 
Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Multikulturalisme adalah pandangan normatif tentang cara menata keberagaman di dalam masyarakat. Dalam arti ini keberagaman bukan sekedar keberagaman suku, ras, ataupun agama, melainkan keberagaman bentuk-bentuk kehidupan, termasuk di dalamnya adalah kelompok-kelompok subkultur, seperti gay-lesbian, para pecinta prangko, punk, suckerhead, dan lainnya. Argumen inti multikulturalisme adalah, bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri. Maka setiap bentuk kehidupan layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandangan dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku (bukan hukum moral). (Taylor, 1994)
Yang dimaksud dengan kelompok sub kultur adalah semakin banyaknya orang yang hidup dengan berbagai latar belakang nilai, seperti orang bisa sekaligus beragama Islam, suku Batak, gay, pecinta perangko, sekaligus pecinta musik punk. Di sisi lain ada seorang waria beragama Hindu, mencinta musik Gereja Katolik, menyukai makanan Timur Tengah, serta mendalami budaya Cina. Mereka kelompok sub kultur yang semakin hari semakin banyak jumlahnya di masyarakat kita. Mereka hidup bersama dan perlu tata politik yang tepat untuk mengaturnya, supaya tidak terjadi gesekan yang bermuara pada konflik ataupun diskriminasi sosial. Dalam konteks inilah wacana multikulturalisme menemukan relevansinya.
Namun pada hemat saya, multikulturalisme tetap tidak netral dan murni emansipatif, karena multikulturalisme juga tidak bebas dari hegemoni, ideologi, dan struktur sosial yang dominan di dalam masyarakat. Tidak hanya itu konsep masyarakat pun selalu merupakan masyarakat yang hidup dalam konteks hegemoni, ideologi, ataupun konteks struktur sosial tertentu. Maka masyarakat bukanlah sebuah kata yang netral. Pada titik ini saya ingin mengajukan argumen, bahwa wacana multikulturalisme bisa dengan mudah jatuh ke dalam ideologi, dalam arti kesadaran palsu atau kesesatan berpikir, jika tidak dibarengi dengan analisis soal hegemoni, ideologi, dan struktur sosial masyarakat yang dominan di dalam masyarakat.
Untuk menjelaskan argumen itu, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan menjelaskan dasar-dasar teori hegemoni dengan mengacu pada pemikiran Antonio Gramsci sebagaimana ditafsirkan oleh Andrew Deak dan dan Derek Boothman (1). Lalu saya akan menjelaskan arti konsep ideologi dengan menggunakan pemikiran Slavoj Zizek, sebagaimana ditafsirkan oleh Myers, dan pemikiran Teary Eagleton (2). Kemudian saya akan menjelaskan konsep struktur sosial di dalam pemikiran Anthony Giddens, sebagaimana dibaca dan ditafsirkan oleh Herry Priyono (3). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (4).
1.Hegemoni
Teori pertama yang perlu kita pahami adalah teori tentang hegemoni. Tokoh yang mencoba merumuskan teori ini secara komprehensif adalah Antonio Gramsci, seorang pemikir Neo-Marxis pada awal abad ke-20. Secara singkat hegemoni adalah, “pradominasi ideologis dari nilai-nilai dan norma borjuasi pada kelas-kelas yang lebih rendah.” (Carnoy, 1984, dalam Deak, 2005) Dengan kata lain menurut Deak, hegemoni merupakan tanda, bahwa nilai-nilai hidup kelompok yang dominan di masyarakat menyebar dan menjadi nilai-nilai hidup seluruh masyarakat.
Apa akibatnya? Akibatnya kaum yang berkuasa dilihat sebagai sosok ideal, yakni orang-orang yang bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik dari seluruh masyarakat luas. Dalam arti ini menurut Deak, hegemoni lebih dari sekedar dominasi (pemaksaan dengan menggunakan kekuasaan), tetapi juga “gabungan antara kesepakatan dan pemaksaan.” (Deak, 2005) Lebih dari itu hegemoni dapat dikatakan berhasil, jika orang merasa sukarela hidup dengan nilai-nilai kelompok dominan, dan merasa bahwa itulah yang terbaik.
Dalam konteks ini Gramsci hendak memahami struktur kelas sosial di dalam masyarakat, terutama dalam hal kepemimpinan yang ideal, ataupun nilai-nilai normatif yang menjadi ideal masyarakat terkait. Inilah hegemoni. Hegemoni memastikan bahwa kelas-kelas sosial yang berkuasa tetap berkuasa, dan bahwa struktur politik-sosial-ekonomi yang ada tetap menguntungkan kelas-kelas sosial dominan yang berkuasa. Jika hegemoni berlangsung maka setiap orang, terutama yang berasal dari kelas-kelas sosial berbeda, akan menerima nilai-nilai serta kepemimpinan kelas sosial dominan secara sukerela, dan bahkan berbahagia. (Boothman, 2008)
Misalnya jika ditanya kemana kamu ingin melanjutkan sekolah? Mayoritas orang akan menjawab, mereka ingin sekolah di Amerika atau Eropa. Ini menandakan adanya hegemoni pendidikan dari Amerika dan Eropa sebagai kaum yang berkuasa dan dominan di dunia. Jika siswa sekarang ditanya, apa cita-citamu? Mayoritas mereka akan menjawab ingin menjadi direktur, manajer, atau pengusaha sukses. Ini jelas menandakan bahwa nilai-nilai kapitalisme ekonomi masih menjadi hegemoni, karena kelompok-kelompok itulah yang sekarang ini menjadi kaum dominan di masyarakat Indonesia.
Wacana multikulturalisme menjadi sulit terwujud, karena masyarakat hidup dalam hegemoni dari suatu kelas sosial tertentu, entah kelas sosial ekonomi ataupun religius tertentu. Indonesia kini hidup dalam tawanan hegemoni kedua kelas tersebut. Apa yang baik dan buruk ditentukan berdasarkan nilai-nilai ekonomi maupun ajaran agama tertentu yang dominan. Di dalam masyarakat yang terhegemoni oleh dua sistem nilai tersebut, penerimaan kepada keberagaman menjadi sesuatu yang mustahil, bahkan salah untuk diwujudkan.
2. Ideologi
Di dalam ranah teori-teori Marxis, ideologi seringkali dipahami sebagai kesadaran palsu, yakni cara berpikir yang tidak tepat tentang dunia. Misalnya soal Blackberry. Banyak orang merasa mereka membutuhkan Blackberry. Kebutuhan itu menurut mereka alamiah, maka mereka membeli Blackberry. Ini adalah cara berpikir ideologis, karena mereka tidak melihat kemungkinan, bahwa Blackberry adalah kebutuhan palsu yang diciptakan oleh produsen melalui iklan.
Pada akhirnya orang dijajah oleh produk yang tidak mereka butuhkan, karena mereka salah berpikir tentang produk yang mereka gunakan. Bagi Myers –dalam tafsirannya tentang pemikiran Zizek- dalam konteks ini, ideologi bukan merupakan fakta yang salah, melainkan kesalahan di dalam menafsirkan suatu fakta. Blackberry bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga simbol penjajahan atas ruang privat, karena orang kini bisa diakses kapanpun dan dimanapun, sejauh Blackberry ada di sampingnya.
Blackberry adalah simbol dari superstruktur yang mempertahankan stabilitas sistem ekonomi tertentu, yakni kapitalisme, supaya tetap ada dan berkembang, dan ini juga berarti melestarikan jurang kesenjangan sosial yang diciptakannya. “Ideologi”, demikian Myers, “adalah sejenis kesalahan persepsi yang dapat diperbaiki sama seperti anda mengganti lensa kaca mata anda jika anda tidak bisa melihat dengan jelas.” (Myers, 2005)
Eagleton sendiri berpendapat bahwa ideologi memiliki banyak macam arti. Ideologi baginya dapat dipahami sebagai cara pandang terhadap dunia, termasuk di dalamnya nilai-nilai, ide, maupun simbol-simbol yang bermakna dalam hidup seseorang atau masyarakat. Dalam arti ini ideologi memiliki makna netral positif. Namun Eagleton juga mencatat, seperti Zizek, bahwa ideologi juga bisa bermakna negatif, yakni ideologi sebagai ide-ide yang membenarkan kekuatan politik dominan di masyarakat, ide-ide palsu yang membenarkan struktur kekuasaan tertentu, komunikasi yang terhambat akibat kepentingan, dan cara berpikir identitas yang melihat dunia secara hitam putih. (Eagleton, 1991)
Saya sendiri lebih melihat ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat kita salah dalam menafsirkan realitas. Dalam arti ini multikulturalisme juga bisa menjadi ideologi, ketika ia buta akan pengaruh hegemoni dan ideologi di dalam cara pandangnya sendiri. Roh dari multikulturalisme adalah pengakuan, bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri. Maka setiap bentuk kehidupan haruslah diberdayakan untuk mencapai tingkatnya yang maksimal.
Cita-cita ini hanya dapat terwujud, jika multikulturalisme melepaskan kesadaran palsunya (ideologi), bahwa masyarakat itu netral dari pengaruh kekuasaan dan hegemoni. Dalam konteks Indonesia wacana multikulturalisme terlebih dahulu harus mempertimbangkan pengaruh hegemoni kapitalisme dan fundamentalisme religius, sebelum memulai misinya untuk menciptakan masyarakat yang ramah pada perbedaan bentuk-bentuk kehidupan. Selama dua sistem nilai masih berhasil menjadi hegemoni, selama itu pula cita-cita multikulturalisme hanya akan berhenti menjadi wacana, dan tidak pernah bisa membawa perubahan kebijakan yang sungguh nyata bagi masyarakat.
3. Struktur Sosial
Salah satu teoritikus yang, pada hemat saya, cukup komprehensif merumuskan konsep struktur sosial adalah Anthony Giddens. Argumentasi Giddens tentang struktur sosial terkait erat dengan pemahamannya tentang manusia yang memiliki tiga bentuk kesadaran. Dalam arti ini struktur sosial terbentuk dari apa yang disebutnya sebagai kesadaran praktis, yakni perilaku manusia yang dilakukan secara rutin dan berbarengan dengan manusia lainnya, dan secara perlahan menciptakan struktur yang kurang lebih tetap. Struktur itu kemudian menjadi otonom dari manusia yang menciptakannya. (Giddens, 1985)
Dengan mendapat inspirasi dari Freud tentang tiga dimensi internal manusia, Giddens merumuskan sebuah model tentang bagian-bagian dari kesadaran manusia. Menurut dia setiap orang memiliki tiga aspek ini, yakni motivasi tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif.(Giddens, 1985) Motivasi tak sadar adalah keinginan pelaku yang merupakan potensi sebuah tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri. Oleh karena itu amatlah jarang tindakan kita didorong langsung oleh motivasi yang sadar. Misalnya kita makan untuk mempertahankan hidup kita. Akan tetapi seberapa seringkah kita sadar, bahwa ketika kita makan, tujuan sessungguhnya adalah untuk hidup? Motivasi yang sering muncul adalah bahwa kita makan karena sudah jamnya, untuk rutinitas.
Kedua, kesadaran diskursif mengacu pada kemampuan kita untuk memberikan penjelasan atas tindakan yang tengah kita lakukan. Ketika ditanya mengapa saya membaca buku karangan Giddens yang berjudul The Constitution of Society? Saya akan menjawab bahwa tindakan itu dilakukan, supaya saya bisa mengerti apa maksud Giddens tentang struktur dan pelaku, dan kemudian menulis sebuah paper tentang itu. Ketiga, kesadaran praktis adalah wilayah di dalam diri pelaku yang berisi segala bentuk pengetahuan praktis, dan tidak bisa diurai secara eksplisit. Wilayah inilah yang merupakan bidang hidup yang sudah selalu diandaikan.
Misalnya ketika kita berbahasa, kita tidak pernah betul-betul ingin bertanya dan sadar akan struktur gramatika bahasa yang kita ucapkan. Itu semua sudah diandaikan. Begitu pula dengan cara kita makan. Wilayah inilah yang merupakan “insting” hidup, yang hampir tidak pernah kita pertanyakan lagi.(Giddens, 1985) Hampir semua hal di dalam hidup kita sehari-hari berada di wilayah kesadaran praktis ini. Di dalam kesadaran praktis inilah berakar apa yang dinamakan Giddens sebagai ‘rasa aman ontologis’ kita. Momen ketika kesadaran praktis ini rendah disebut Giddens sebagai ‘kecemasan ontologis’. Contoh yang paling bagus, pada hemat saya, adalah tentang orang yang pindah ke suatu tempat dengan bahasa baru dan cara hidup baru.
“Setelah lama hidup di lingkungan yang dikenal, dengan bahasa orang-orang dan kebiasaan yang sangat dikenal, seseorang tidak perlu lagi sadar tentang bagaimana mengucapkan bahasa yang dipakai, bagaimana naik kendaraan di daerah itu, seberapa besar memutar volume radio, dan sebagainya.” (Herry Priyono, 2001) Hal-hal itu sudah menjadi bagian dari pengetahuan instingtif orang tersebut. Dengan kata lain ia telah memiliki rasa aman ontologis tentang bagaimana menjalani rutinitas di tempat itu. Kecemasan hidup memang tidak sepenuhnya hilang. Akan tetapi kecemasan itu bukan dalam wujud tentang cara naik bis, cara belanja, cara berbicara dengan bahasa setempat, dan seterusnya.
4. Kesimpulan
Kita kembali ke problematik awal multikulturalisme, bagaimana supaya multikulturalisme bisa mewujudkan visinya tentang masyarakat yang ramah pada perbedaan akan berbagai bentuk-bentuk kehidupan? Di dalam tulisan ini, saya telah mengajukan argumen, bahwa multikulturalisme perlu peka pada berbagai hegemoni maupun ideologi yang hidup serta menentukan kinerja masyarakat. Lebih dari itu wacana multikulturalisme juga perlu mempertimbangkan struktur sosial yang membentuk masyarakat itu sendiri, karena seperti yang dikatakan oleh Giddens, masyarakat itu sendiri adalah struktur sosial.
Tanpa kesadaran akan hegemoni sistem nilai kapitalisme dan fundamentalisme religius yang mendominasi Indonesia, ideologi yang beroperasi di balik berbagai kebijakan publik maupun pilihan individual, serta struktur sosial yang menciptakan masyarakat Indonesia, wacana multikulturalisme sendiri akan jatuh ke dalam ideologi, yakni kesesatan berpikir tentang suatu fenomena yang akhirnya menjauhkan wacana ini dari visi otentiknya. Jika sudah menjadi ideologi, wacana multikulturalisme akan kehilangan relevansinya untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi lebih terbuka pada perbedaan bentuk-bentuk kehidupan. Wacana tersebut akan kehilangan daya kritisnya, dan justru menjadi penghambat bagi perubahan ke arah yang lebih baik di Indonesia. Jika itu yang terjadi, tidak ada gunanya bagi kita untuk berbicara soal multikulturalisme. ***
Share this article :

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dewa Copas - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template