Lady Queensborough dalam bukunya "Occult Theocracy" mengutip L'Anti-Semitisme karya Bernard Lazare (1894) menyebut figur-figur asing di belakang layar Revolusi Perancis, semuanya bankir yahudi. Di antaranya adalah Benjamin dan Abraham Goldsmid, Moses Mocatta, Sir Moses Montifiore, Daniel Itsig, David Friedlander, dan Herz Cerfbeer.
Sir Walter Scott dalam "Life of Napoleon" dengan tepat menggambarkan situasi menjelang Revolusi Perancis:
"Para pejabat keuangan yang sengaja membuat bangkrut pemerintah itu mendapat perlakuan istimewa dari para bankir yang memenuhi nafsu tamak mereka dengan satu tangan dan kehancuran di tangan lainnya. Dengan terus menerusnya pemberian hutang berbunga serta berbagai hak-hak penjaminnya, seluruh keuangan negara Perancis terjerumus ke dalam kehancuran."
Menteri keuangan Perancis kala itu adalah Necker, berasal dari Swiss dan keturunan Jerman, putra dari seorang profesor Jerman yang oleh penulis sejarah McNair Wilson disebutkannya:
"Necker telah mengendalikan kekayaan kerajaan sebagai perwakilan dari penguasa sistem keuangan berdasar hutang."
Berdasar kebijakannya serta latar belakang Necker sebagai spekulator, kita mengetahui mengapa keuangan kerajaan Perancis justru semakin memburuk. Selama empat tahun mengurusi keuangan negara, hutang kerajaan Perancis menumpuk hingga mencapai 170 juta pound, jumlah yang luar biasa besar saat itu.
Sementara itu organisasi rahasia Freemasonry, yang masuk ke Perancis dari Inggris pada tahun 1730-an, mencapai puncak aktifitasnya dan pada tahun 1771 dipimpin oleh Phillipe Duc de Chartres (Duc D'Orleans). Secara lahiriah, organisasi freemason adalah organisasi idealistis secara program maupun para anggotanya. Namun pada kenyataannya ini adalah organisasi yang keji baik tujuan dasarnya maupun para personilnya.
Meski dikenal dengan gaya hidup royalnya Duc d'Orleans sebenarnya bukan tipe orang yang keji yang berfikir untuk menggulingkan raja dan menggantinya dengan dirinya. Namun ia memainkan perannya dengan cukup baik, pada tahap awal munculnya sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah Eropa, meski kemudian ia harus menebusnya dengan nyawanya sendiri yang terpenggal kepalanya oleh pisau guillotine.
Marquis de Mirabeau adalah orang yang tepat untuk menggerakkan tahap selanjutnya, revolusi, meski ia sebagaimana pendahulunya tidak pernah berfikir untuk menggulingkan raja dan bahkan membunuhnya. Ia diketahui didanai oleh Moses Mendelssohn, pimpinan organisasi yang lebih rahasia dan lebih keji lagi, Illuminati. Moses Mendelssohn adalah tokoh yahudi yang pernah mengatakan bahwa "yahudi bukanlah agama, melainkan perangkat hukum yang dijadikan agama." Illuminati adalah organisasi rahasia yahudi yang didirikan berdasar agama pagan yahudi kuno, Kaballah. Illuminati artinya "yang tercerahkan oleh sang pembawa cahaya". Sang pembawa cahaya adalah Lucifer, salah seorang dewa terkuat dalam kepercayaan kabalah.
Illuminati yang didirikan oleh Adam Weishaupt di Frankfurt, Jerman tahun 1782 berhasil melakukan penetrasi atas organisasi freemason dan segera kemudian masuk ke Perancis.
Pada tahun 1785, empat tahun sebelum Revolusi Perancis, terjadi hal aneh, semacam pesan dari Tuhan kepada rakyat Eropa akan adanya sebuah kekuatan jahat yang mengintai mereka. Seorang kurir Illuminati tersambar petir di Ratisbon, Bavaria, Jerman. Polisi menemukan pesan yang dibawa oleh kurir itu, dokumen rahasia Illuminati yang berisi rencana dan metode untuk menguasai Eropa dan dunia.
Penguasa Bavaria langsung menyerbu markas besar Illuminati, menangkap anggota-anggotanya dan membubarkannya. Pemerintah Perancis tentu saja mendapatkan informasi itu, namun sayangnya tidak melakukan tindakan apapun.
Pada tahun 1789 terdapat tidak kurang dari 2.000 loji (klub freemason) di Perancis dengan anggota mencapai 100,000. Merekalah kekuatan pokok gerakan revolusi meski sebagian besar dari mereka, termasuk para petingginya tidak mengetahui agenda sebenarnya dari organisasi yang mereka ikuti. Di antara klub-klub tersebut klub Jacobin adalah yang paling militan.
Pada tahun 1789 pemerintahan kerajaan Perancis secara efektif telah lumpuh, oleh pers yang berada di luar kontrol pemerintah, dan oleh birokrat korup yang "ditanamkan" Illuminati di birokrati Perancis.
Pada tahun 1780 d'Orleans terlibat hutang hingga 800,000 livres, karena gaya hidup royal dan kegemarannya berjudi. Pada tahun 1781 ia menyerahkan propertinya di kompleks elit Palais Royal kepada bankir yang membentuknya menjadi pusat kegiatan politik, percetakan pers, pusat hiburan dan judi, hotel, teater, galeri seni, pusat kebugaran dan sebagainya. Menjadi pusat kegiatan para birokrat korup dan anggota freemason "na'if".
Dengan pemerintahan yang dipenuhi pejabat korup serta kebebasan pers yang dikontrol para bankir internasional, menjadi kombinasi paling tepat untuk memicu kebencian massa terhadap pemerintah.
Salah satu figur yang paling sering menjadi cercaan media massa dan menjadi sasaran kebencian massa adalah Ratu Maria Antoniete. Untuknya sebuah konspirasi dilakukan. Tanpa sepengetahuannya, sebuah kalung berlian senilai 250.000 pound dipesan atas namanya. Pada saat kondisi ekonomi Perancis morat-marit karena beban keuangan kerajaan, berita tentang kalung itu menjadi sorotan tajam masyarakat. Namun semua itu belum cukup. Sepucuk surat misterius dikirimkan atas nama Ratu kepada Cardinal Prince de Rohan yang memintanya bertemu di Palais Royal, untuk meminta nasihat perihal skandal kalung tersebut. Seorang pelacur berdandan mirip Ratu telah menunggu sang kardinal, tentu saja ditemani kerumunan wartawan. Maka berita pertemuan rahasia itu pun muncul di koran-koran dan semakin menjerumuskan nama sang Ratu yang "naif" dan terakhir mengantarkan nyawa sang Ratu dan Raja, bersama ratusan ribu atau bahkan jutaan nyawa lainnya, kepada algojo pada saat revolusi mencapai tahap yang tak terkendali.
Sebelumnya sang Ratu yang "naif" mengirim surat pada saudarinya di Austria: "Menurut saya, kekhawatiranmu tentang organisasi-organisasi freemason itu terlalu berlebihan. Di Perancis kekhawatiran itu tidak perlu terjadi sebagaimana mungkin di negara-negara Eropa lainnya. Sebaliknya pemerintah memberi kebebasan penuh pada organisasi-organisasi ini, yang kebanyakan berbentuk semacam serikat pekerja atau yayasan. Mereka hanya makan-makan, menyanyi, berdiskusi, yang bahkan terkadang diikuti raja hingga raja pernah berkata bahwa orang-orang yang makan minum dan berdansa bukanlah orang-orang yang harus dicurigai. Tidak juga organisasi itu anti-Tuhan karena setiap saat mereka memuji kebesaran Tuhan. Mereka orang-orang yang yang ramah dan terhormat. Mereka membantu anak-anak miskin dan menyayangi anak-anak mereka. Bahaya seperti apa yang mereka bawa?"
Segera kemudian, saat kalung itu berhasil memainkan perannya, kalung itu dikirim ke Inggris ke tangan keluarga yahudi Eliason. Konspirasi serupa dilakukan terhadap figur-figur yang diangap menghalangi rencana revolusi.
Saat para bankir berhasil memaksa raja Louis XVI mengadakan pertemuan para tokoh nasional (Estate General) tahun 1789, kelumpuhan pemerintahan Perancis telah tuntas, dan tahap selanjutnya, pukulan-pukulan revolusi, dimulai.
Sejak tahun 1789 tahap demi tahap revolusi dilancarkan, dengan tahap yang mengikuti lebih keras dan kejam dibanding tahap pendahulunya. Pada setiap tahap berakhir, pemimpin revolusi selalu dijadikan tumbal dan kepalanya menggelinding mengikuti pendahulunya.
Duc d'Orleans dan Phillipe Egalite memimpin tahapan dasar revolusi seperti menjadi patron klub-klub revolusioner, mempopulerkan gerakan freemason dan kawasan Palais Royal, dan merancang aksi-aksi massa awal revolusi seperti aksi demontrasi para wanita di Istana Versailes. Namun sebagaimana para penerus gerakan revolusi, mereka tidak pernah bermimpi untuk mengganti bentuk kerajaan dengan bentuk pemerintahan lainnya seperti republik, yang kala itu di seluruh dunia dianggap hanya sebuah ilusi belaka meski telah mulai diwacanakan para intelektual yahudi.
Dalam aksi demonstrasi para wanita "proletar" di Istana Versailes, sebagian besar dari mereka adalah laki-laki berdandan wanita. Mereka melakukan aksi kerusuhan di sekitar Istana Versailes dan penjara Bastille dan "berhasil" memaksa Raja meninggalkan istana dan pasukan pengawalnya, menuju Paris dimana orang-orang revolusioner Jacobin mendominasi. d'Orleans yang mengkhawatirkan keselamatan raja, mencoba menghalangi, namun harus menebusnya dengan nyawanya sendiri yang direnggut paksa oleh para perusuh.
Egalite yang menggantikan d'Orleans masih mencoba menghalangi Estate General menjatuhkan hukuman mati pada raja. Namun ia gagal dan nyawanya menyusul Raja dan Ratu terbang oleh pancungan guillotine.
Kemudian muncullah Mirabeau, seorang pemimpin berwibawa dengan suaranya yang keras mengguntur. Ia pun mencoba menyelamatkan raja dan keluarganya dengan mengirimkan mereka keluar Paris dengan pengawalan pasukan yang loyal pada raja. Tidak lama kemudian ia mati diracun.
Mirebeau adalah tokoh freemason Jacobin moderat terakhir. Ia meninggal pada saat terakhir revolusi berdarah tersebut bisa "dikendalikan". Selanjutnya revolusi dipimpin oleh para manaic, orang-orang sakit jiwa kader organisasi rahasia penyembah berhala, Illuminati. Namun sama dengan d'Orleans, Phillipe Egalite, Mirabeau dan kemudian Danton serta Robes Pierre, mereka semuanya harus menebus gerakan yang mereka pimpin dengan nyawanya sendiri. Semua itu tepat dengan apa yang tertulis pada protikol 15 Protocols of Zion:
"Kita akan membunuh para anggota mason dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada seorangpun yang mencurigai (pembunuhan itu)." Dan selanjutnya:
"Pada tahap ini kita akan melanjutkan (pembunuhan) terhadap anggota mason goyim (non-yahudi) yang mengetahui terlalu banyak."
Lalu muncullan figur Jendral Lafayette yang juga memainkan peran penting selama revolusi, namun sebenarnya juga seorang nasionalis pembela raja. Ialah yang dengan gigih telah mencoba membela kekuasaan raja dalam berbagai kerusuhan, termasuk aksi demonstrasi para wanita di Versailes, penyerangan Tuilleries, dan penyerbuan massa ke Champs de Mars. Sangat jelas ia menjadi figur penghalang revolusi. Maka setelah memaksa Raja Louis XVI menyatakan perang terhadap Austria, Lafayette pun dikirim ke medan perang. Dengan terburu-buru, setelah menyelesaikan misinya ke Austria, Lafayette pun kembali ke Paris untuk menyelamatkan raja. Namun lagi-lagi ia dikirim kembali ke medan perang dan nasib raja pun tidak bisa diselamatkan.
Selanjutnya figur-figur "kriminal" seperti Danton, Marat, Robes Pierre pun menguasai medan politik. Dan kerusuhan demi kerusuhan berdarah pun terjadi. Pada tahun 1792 terjadilah peristiwa "Pembantaian September" (khas kerja konspirasi yahudi yang selalu melakukan aksi-aksi brutalnya di bulan ini) dimana di penjara Bastille saja terjadi eksekusi mati terhadap 8.000 tahanan politik. Pelaku pembantaian ini, dari penangkapan para tahanan hingga pembunuhannya, dilakukan oleh Manuel, pejabat Procurer of the Commune de Paris. Namun ini belum seberapa. Dalam satu episode revolusi, sekitar 170.000 petani Perancis yang mencoba melawan revolusi dibenamkan ke dalam sungai bersama kuda dan pedatinya.
Sir Walter Scott dalam "Life of Napoleon" menulis dengan tepat tentang Communaute de Paris (Dewan Kota Perancis atau Paris County Council. Sebuah organisasi semacam Sanhedrin dalam komunitas yahudi): "Apa yang diinginkan Communaute de Paris, adalah tentu saja, darah."
Selanjutnya Scott menulis: "Kekuatan kelompok Jacobin di Paris tidak lagi terbendung, di mana Robes Pierre, Danton dan Marat menduduki tempat yang tinggi dalam stuktur sinagog."
Selanjutnya Scott mengungkapkan siapa di balik itu semua: "Para pimpinan utama dari Communaute tidak lain adalah orang-orang asing." Mereka di antaranya adalah, tulis Scott, Chlodero de Laclos, manager pengelola Palais Royal yang berdarah Spanyol, Manuel sang Procurer of the Commune sang pembunuh keji yang memulai serangan terhadap Raja dalam Sidang Rakyat yang berujung pada pembunuhan Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette.
Selanjutnya adalah David "the painter", tokoh dalam Committee of Public Security yang selalu meneriakkan kematian untuk raja. Sir Walter Scott menulis bagaimana haus darahnya David dengan mengatakan, "mari kita merahkan batu pengasah kita."
Selanjutnya adalah Reubel dan Gohir, dua dari lima orang anggota Directoire yang memerintah Perancis paska kematian Robes Pierre. Terminologi "Directors" dan "Elders" tentu saja tipikal yahudi.
Karya Sir Walter Scott yang terdiri 9 jilid merupakan karya paling lengkap tentang Revolusi Perancis, yang membeberkan bagaimana konspirasi yahudi bekerja dalam peristiwa tersebut. Sayangnya karya itu sangat jarang ditemukan lagi.
Sebelum kematiannya dan setelah pendahulunya meninggal, Robes Pierre tampil sebagai tokoh paling berpengaruh, namun tentu saja hanya di permukaan saja. Bahkan meski ia adalah salah satu tokoh yang menggerakkan revolusi berdarah itu, ia muak dan jijik dengan hal itu semua. Pada tgl 28 Juli 1794 ia mengucapkan pidato yang menggemparkan yang secara tersirat membuka siapa sebenarnya di belakang peristiwa paling brutal dalam sejarah Perancis itu. Dalam buku "Life of Robes Pierre" karya G. Renier dituliskan pidato tersebut:
"Saya tidak berani mengatakan di tempat ini siapa mereka yang bertanggungjawab atas kekejian ini samua. Saya tidak bisa membiarkan diri saya terbantai oleh kejahatan yang secara mendalam melingkupi misteri tiada tara ini. Tapi saya saya bisa mengatakan dengan pasti bahwa di antara penggerak revolusi ini adalah agen dari sistem yang korup, suatu yang sangat kuat yang diciptakan oleh orang-orang asing yang mengatur republik ini. Mereka adalah para nabinya atheisme dan imoralisme."
Malam hari setelah pidato tersebut Robes Pierre ditembak dan keesokan harinya kepalanya dipenggal. Dengan cara yang hampir sama Presiden Amerika Abraham Lincoln dibunuh pada malam hari setelah mengumumkan akan mencetak uang kertas sendiri untuk membiayai belanja pemerintah dan transaksi keuangan masyarakat, lepas dari uang kertas ciptaan bankir yahudi internasional yang kini mewujud dalam bank sentral Federal Reserve.
Lagi kita melihat konsistensi Protocols of Zion: "Pada tahap ini kita akan melanjutkan (pembunuhan) terhadap anggota mason goyim (non-yahudi) yang mengetahui terlalu banyak."
Ref: "The Nameless War", A.M. Ramsey