Muse Buzz :
Home » » Kebenaran Ganda Ibn Rusyd

Kebenaran Ganda Ibn Rusyd


 
Bila Tuhan itu baik, maka kenapa Dia menciptakan keburukan? Pertanyaan itu adalah dari kalangan awam yang sedang dirundung malang atau para pemikir yang telah terlalu larut atau terjebak dengan hal-hal yang tidak lagi esensial. Pertanyaan yang semaksud tapi berbeda dari orang yang lebih ''esensial'' adalah begini: Bila Pantheisme menganggap semua adalah Tuhan, maka apakah anjing dan perbuatan jahat adalah Tuhan? Untuk masuk dan menyelesaikan masalah ini harus saya akui kita harus masuk ke dalam ranah diskursus yang paling sensitif dan ekstrim dalam sejarah pemikiran manusia. Tapi saya berjanji kita tidak akan berlama-lama di sana: Seorang pemikir Barat ketika mengkaji Unpanishad dan Spinoza memberi kesimpulan bahwa Tuhan adalah sama dengan Alam tapi sekaligus tidak sama. Kebenaran ganda yang muncul ini memang tanpak tidak konsisten. Tapi seorang pengkaji Panteisme pastinya tidak mungkin tidak serius. Seorang teman mengatakan kejahatan itu memang ada. Demikian halnya dengan anjing. Tapi manusia mendapatkan suatu pemahaman akan sesuatu, itu menurut carapandangnya. Cara pandang manusia ini (sehingga dia memperoleh suatu pemahaman) adalah dengan memberi batasan pada setiap hal yang diamati. Dalam melihat alam misalnya, manusia menggunakan cara pandangnya yang terbatasi. Kita dapat melihat seekor anjing menurut persepsi kita. Mata kita dapat menemukan objek seekor anjing. Tetapi bila sebuah mikroskop diletakkan di posisi manusia mengamati, maka objek yang ditangkap bukanlah seekor anjing. Setiap objek yang diamati pastinya dengan abstraksi dari partikulannya yang tak terbatas, melalui aksiden. Demikian dengan sebuah peristiwa. Pembatasan berlaku. Ketika melihat seseorang menghunus parang lalu menebas leher seseorang, akan kita klaim sebagai sebuah kejahatan. Menjadi (atau memaknainya sebagai) kejahatan ketika kita membatasi peristiwa mulai dari pedang dihunus hingga kepala nyaris terpisah dengan bahu dan darah muncrat-muncrat. Tapi bila durasi diperlebar pemaknaannya akan berbeda. Katakan sebab si penebas kemarin istri dan empat anaknya diperlakukan sama oleh yang lehernya hampir putus. Bila sudut pandang diganti menjadi sudut pandang parang saja, maka adalah beda: parang itu setiap hari memang dipakai untuk menebas leher ayam potong atau menebas apapun. Jadi dalam cara pandang parang saja, peristiwa tadi adalah hal biasa. Bila analoginya di rubah: si penebas adalah orang gila, maka kacamata agama akan mengatakan itu bukan kejahatan yang mengakibatkan neraka. Bila analogi dirubah lagi: si penebas adalah banci yang sedang dilanda cemburu, dalam pandangan si banci, penebasan itu adalah kepuasan. Klaim adanya kejahatan hanyalah pada cara, sudut pandang dan durasi yang ditentukan secara subjektif. Abstraksinya menjadi sebuah peristiwa karena limitasi-limita si. Karena ''cara pandang'' Tuhan tidak mengenal limitasi, maka mustahillah dapat diklaim adanya kejahatan. Demikian pula anjing. Pramis ''Tuhan Maha Menghendaki'' itu benar. Premis ''Semua yang baik dari Allah dan semua yang buruk dari manusia'' juga benar, sebab manusialah yang membatasi, mengatur sudut pandanya pada sesuatu hingga dia menyebutnya anjing dan kejahatan. Dari kasus di atas mungkin dapat mengantarkan beberapa orang pada nihilisme atau sebagainya. Tapi setidaknya penerangan di atas telah membuka jalan bagi kita untuk dapat memahami teori kebenaran ganda Averroes (Ibn Rusyd). Bagi Ibn Rusyd, dua argumen atau pernyataan dapat saja semuanya benar, tapi juga dapat keduanya keliru: tergantung limitasi dan cara pandang. Ada pemikir yang menolak sistem Hegel dengan mengatakan salah satu atau keduanya dari tesis atau antitesis boleh jadi keliru, maka sintesisnya pasti keliru. Tapi teori Ibn Rusyd akan membela Hegel. Persoalan dari konsep Hegel menjadi bermasalah hanya ketika konsepnya itu dimaknai atau dianalogikan dengan ranah konkrit atau praktis. Seorang filosof memang lebih baik tidak turun ke ranah praktis. Seorang filosof cukup menawarkan pokok gagasannya kepada pemikir atau intelektual untuk digunakan. Dalam hal ini, saya berseberangan dengan Oliver Leaman yang mengatakan seorang filosof harus turun dari penalaran abstrak ke penalaran praktis ('Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis', Bandung: Mizan, 2001, h. 190). Ibn Rusyd membuktikan bahwa Filsafat, meski bernuansa Islam, tampil sangat rasional. Melalui tangan Ibn Rusyd, asumsi filsafat yang bernuansa agama selalu tidak layak disebut sebagai filsafat karena berangkat dari doktrin maupun dogma lalu kembali ke sana lagi: terbantahkan. Bahkan Ibn Rusyd sendiri sering mengkritik Ibn Sina mengenai paham filsafatnya. Menurut Ibn Rusyd, Ibn Sina tampak terlalu banyak mencampurkan aspek mistis. Sementara corak pemikiran Ibn Rusyd sendiri, menurut Leaman, jauh dari nusansa mistis sama sekali (ibid. h. 192). Sebagaimana yang diyakini Hegel enam abad kemudian di Jerman, Ibn Rusyd di Spanyol telah memberikan keyakinan bahwa segala aspek yang dapat dibayangkan manusia juga dapat dijelaskan. Saya melihat rasionalisme yang tangguh dan konsisten tidak hanya oleh Ibn Rusyd, tapi juga oleh pendahulunya Ibn Tufayl dan Ibn Bajjah yang juga dari Spanyol, adalah karena kultur Eropa yang benar-benar anti mistik. Dalam pemikiran Ibn Rusyd, akal dan wahyu memiliki posisi yang sama. Dia berbeda dengan filsuf dari Timur yang selalu memberi posisi yang lebih kepada wahyu. ''Kalau orientasinya kebenaran, maka pastilah Islam'' kata Muhammad Ridha. Maksudnya, akal memang merupakan bagian dari Tuhan, sama seperti wahyu. Ketika akal diposisikan dengan baik dan benar, mustahil berseberangan dengan wahyu. Menurut Ibn Rusyd, bila sewaktu-waktu ditemukan perbedaan antara akal dengan wahyu, maka boleh jadi itu karena pemahaman kita terhadap wahyu yang keliru. Baru-baru ini, Fazlur Rahman dalam 'Tema-tema Pokok Al-Qur'an' sanggup memberikan penjelasan mumpuni terhadap wahyu. Dikatakan Rahman, wahyu adalah sebuah pencapaian akal pada tingkat yang tinggi (lihat, Miswari, 'Garudaku Tangguh' Jakarta: PII Press, 2001 pada bagian 'Jibril Belum Pensiun'). Sekularisme bukanlah hal yang patut dikhawatirkan orang Islam selama mereka mengaku Al-Qur'an masih otentik; dengan catatan metode berfikir itu harus terus lurus. Argumentasi rasional adalah perangkat yang tajam untuk memberi solusi bagi persoalan- persoalan. Mengenai Pembelaan Ibn Rusyd pada Peripatetik, ketika dia mengatakan Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, maka gambaran pada pendahuluan di atas tentang panteisme dapat memberi penjelasan. Kalaupun Tuhan tidak mengetahui hal patikular sebagaimana makhuk mengetahui melalui limitasinya, maka pengetatuan makhluk juga adalah pengetahuan Tuhan. Tapi bila Tuhan mengetahui dengan cara pengetahuan makhluk, maka itu mustahil sebab Yang Maha Mengetahui tidak dapat disebut 'Maha' bila mengetahui dengan limitasi. Karena pengetahuan si pengetahu menurut pembatasan dan sudut pandang, maka tentunya tidak mungkin ada pengetahuan yang sempurna. Oleh karena itu, Ibn Rusyd menerima setiap pernyataan asalkan maksudnya mengarah pada tujuan yang sama. Bahasa awam dengan filsuf sebenarnya punya maksud yang sama ketika ingin membahas objek yang sama. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada atribut simbol bahasa yang digunakan. Karena itu, tampaknya, serangan Al- Ghazali pada Peripatetik hanyalah penolakan terhadap atribut bahasa yang dipakai, bukan esensi makna. Bahasa memang hampir selalu menjadi persoalan filsafat yang paling sulit diluruskan. Pemakaian bahasa ini sangat subjektif, bahkan hinggga mengganggu kandungan makna. Terganggunya kandungan makna dapat melencengkan pemahaman sehingga premis-premis selanjutnya jadi bertabrakan dan semraut. Misalkan rasionalisasi Ibn Rusyd tentang alam akhirat. Penjelasannya jauh lebih memuaskan daripada doktrin teologis. Karena doktrin teologis dapat bertahan lama sebab sangat metafor, maka uraian-uraian rasional perlu selalu disegarkan oleh filsuf-filsuf yang datang setelahnya. bila para filosof tidak terus hadir, maka secara perlahan, kaum teolog akan membenamkan khasanah intelektual, warisan tertinggi dari fitrah dan potensi manusia. Pemberian posisi antara antara intelek dengan wahyu oleh Ibn Rusyd mengilhami sekularisme Eropa. Renesains yang muncul di Eropa tidak lepas dari pemikir Spanyol ini. Bila Ibn Rusyd banyak mengambil epistemologi dan logika filsafatnya dari Aristoteles bahkan hingga mengatakan Ibn Sina keliru dalam memahami pemikiran Aristoteles sekalipun tampaknya Ibn Sina ingin melakukan impovisasi atar karya murid Plato itu, Ibn Rusyd banyak mengambil referensi pemikiran politiknya dari 'Republic' Plato. Negara demokrasi yang dimaksudkan Plato dan pemikir prarenesains tidaklah sama dengan demokrasi yang berlaku saat ini. Meskipun para filosof mengaku demokrasi bukanlah sistem terbaik, tapi menurut mereka tidak ada yang lebih bagus dari itu. Para pemikir Barat Renesains banyak yang menawarkan model demokrasi, tapi tidak total, sebab, banyak diantara mereka, sistem monarki adalah lebih baik. Demokrasi yang mereka maksudkan, adalah memberikan hak kepada rakyat sesuai posisi dan kapasitasnya di samping rakyat juga harus memberikan kontribusi pada negara. Penjelasan fungsi manusia serta pembagiannya dapat kita lihat pada pembahasan kita tentang Hegel. Ypaling penting adalah, negara harus mampu mengksporasi potensi rakyatnya untuk diapresiasi. Para teolog, jelas Leaman (ibid, 201), lebih memprioritaskan pengetahuan amalan ibadah keagamaan untuk menjadi peguasa. Sementara itu, Ibn Rusyd lebih memprioritaskan mereka yang punya keahlian serta menguasai banyak disiplin ilmu disamping kefakihannya juga. Nabi Besar Saw. sendiri telah mengingatkan bahwa bila suatu tugas bila diamanahkan pada bukan ahlinya, maka akan tiba kehancuran. Timbulnya beragam argumen adalah karena berbagai simbol bahasa yang dipakai untuk mengabstraksi realitas. Realitas juga bergantung pada limitasi. Logika dan epistemologi adalah alat untuk meluruskan atau lebih tepatnya menciptakan kesepakatan bersama. Sekalipun kesepakatan bersama atau objektivitas ini bukanlah kebenaran, namun setidaknya dapat dijadikan pembenaran. Melalui penjelasan ini kita dapat berharap supaya setiap perbedaan tidak boleh mendatangkan perselisihan. Sebaliknya setiap perbedaan harus menjadi pemicu bagi semua untuk bersain secara sehat menuju kesempurnaan. Sebab, sebagaimana kita sadari, kebenaran mutlak atau absolut, tidak ada pada manusia. Cara kerjanya, seperti metode tesis, anti tesis, menjadi sintesis, sintesis menjadi tesis lagi, dan seterusnya. Logika dan epistemologi filsafat Islam tampaknya lebih mendalam dan esensial daripada filsafat Barat, karena itu dibutuhkan pemikir yang mampu memahami khasanah itu supaya mereka dapat menggunakan instrumen tersebut supaya dapat mewarnai paradigma sains dan teknologi dunia. Islam telah meninggalkan khasanah agungnya lebih setengah millenium, sementara Barat juga ditimpa krisis pasca peninggalan Hegel. Pola pikir yang tidak pragmatis dan tidak materialis harus dibudayakan supaya dunia intelektual mampu melahirkan kembali Aristoteles, Ibn Sina, Descartes, Kant, Hegel dan terntunya Ibn Rusyd: gunanya? Untuk merubah paradigma dunia, menjadi lebih baik dari yang telah digagas para filosof sebelumnya. Copas from abdul gafur

Share this article :

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dewa Copas - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template