Muse Buzz :
Home » » Penjara Seumur Hidup Lebih Baik Daripada Hukuman Mati

Penjara Seumur Hidup Lebih Baik Daripada Hukuman Mati

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Persoalan hukum yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat di Indonesia adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Hukuman mati yang dieksekusikan pada Imam Samudera cs di penghujung tahun 2008 ini, seakan menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim.
 
             Sementara hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukuman mati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hokum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabene dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman mati menjadi menarik untuk dikritisi lebih detail.

            Problematika hukuman mati yang berkembang sekarang ini menghasilkan dua arus pemikiran hukum;
1.       Mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku
2.       Mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan.
            Kelompok yang setuju, beralasan jika secara sadar terpidana melakukan tindakan kriminalnya dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap hak hidup sesamanya, maka negara tidak wajib melindungi dan menghormati hak hidup terpidana. Para pelaku kejahatan berat harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera.

            Sedangkan yang menolak hukuman mati beralasan bahwa hukuman yang satu ini merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata.
Orang Yahudi menggunakan berbagai teknik eksekusi termasuk hukum rajam, hukum pancung, hukum gantung, penyaliban, melempar terpidana dari atas tebing batu, dan digergaji. Cara eksekusi paling keji dan diperingati sepanjang sejarah manusia adalah penyaliban Yesus di Bukit Golgotha pada tahun 29.
Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Azazi Manusia. Di Amerika misalnya di negara bagian Pennsylvania, secara resmi menghapus hukuman mati pada 1834. Pennsylvania adalah negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati. Berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati. Namun pada 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di AS. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui Antiterrrorism and Effective Death penalthy Act yang ditandatangani Clinton.
Begitru juga dengan di benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak sekitar tahun 1950 hingga 1980. meski secadrar defacto tidak pernah ada pencabutan hukuman mati. Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.
Paling tidak di Indonesia perdebatan hukuman mati itu direpresentasikan oleh LSM (Lembaga Masyarakat Sipil) dengan kelompok-kelompok penegak hukum.
Kontras menyebutkan ada dua kelompok pro dan kontra hukuman mati yang mewarnai debat hukuman mati di Indoenia. Pertama, kelompok organisasi HAM yang menolak praktek hukuman mati untuk segala bentuk kejahatan. Mereka memandang bahwa hak atas hidup bersifat absolut, sehingga tak ada kewenangan siapapun termasuk negara untuk menghilangkan nyawa seseorang.

            Kedua, kelompok yang mempertahankan hukuman mati sebagai salah satu alternatif hukuman, karena dianggap masih efektif untuk mengurangi angka kejahatan di Indonesia ini. Kelompok ini biasanya disebut sebagai kelompok dominan yang dipelopori oleh para penegak hukum termasuk pemerintahan.
Gambaran mengenai suntik mati
Ada celah agar hukuman mati dihapus dalam konteks masyarakat Islam. Cuma, hukum positif masih mengakui hukuman mati.
Hukuman mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan bukan berorientasi pada balas dendam. Menurut dia, seharusnya pemidanaan diarahkan pada perbaikan diri si pelaku kejahatan. Karena itu, hakim harus memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri. Hukuman mati menapikan kesempatan tersebut.
Hukuman mati adalah non derogable right yang tidak bisa dibatasi, dan dihapus oleh alasan apapun. Pembatasan hak asasi manusia (HAM) yang tercantum di dalam pasal 28 J UUD 1945, dengan alasan kepentingan umum, hanya dapat berlaku terhadap hak-hak yang derogable. Dengan kata lain, seharusnya tidak bisa diterapkan pada non derogable right yang termuat di dalam pasal 28 I UUD 1945.
Terkait argumentasi yang mengatakan hukuman mati untuk efek jera, Al-Araf berpendapat tidak ada satu penelitian pun yang bisa menyebutkan korelasi antara naik turunnya tindak kejahatan dengan eksekusi hukuman mati.
Hukum di Indonesia yang masih bobrok, akan menjadi berbahaya ketika hukuman mati tetap diterapkan. Karena, sistem hukum ya bobrok membuka peluang putusan yang tidak tepat. Sementara, hukum mati tidak bisa dikoreksi.
Dalam menjalankan peran hakim melakukan interpretasi terhadap apa yang berlangsung di dalam proses pembuktian. Hakim bukanlah orang yang benar-benar melihat secara nyata bagaimana suatu tindak kejahatan terjadi. Karena merupakan interpretasi, maka kemungkinan bahwa interpretasi itu salah selalu terbuka.
Adanya hukuman mati, mencerminkan Indonesia masih mengkalkulasikan hak hidup seseorang. Kalau hak hidup korban dirampas, artinya hak hidup pelaku juga boleh dirampas. Hukum mengikat manusia, karena manusia bisa memilih dalam melakukan tindakan. Manusia juga memiliki kemungkinan untuk berubah, mengalami penyesalan, dan memilih untuk bertaubat. Namun, dengan adanya hukuman mati, peluang manusia untuk memilih bertaubat itu menjadi hilang.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman penjara seumur hidup daripada mati lebih buruk hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Terjadi ketidak kompakkan dalam penetapan pidana mati. Implikasi dari perbedaan itu, pertama, penjatuhan hukuman mati dalam KUHP cenderung represif, sedangkan dalam hukum pidana Islam representatif. Kedua, didalam KUHP tidak diakui hak-hak struktural korban, sedangkan dalam hukum pidana Islam diakuinya hak-hak struktural korban. Ketiga, dalam KUHP tidak memuat kewajiban negara dalam melindungi warga negara secara penuh, sedangkan dalam hukum pidana Islam mewajibkan negara untuk melindungi warga negaranya secara penuh.
Di Indonesia pun sesungguhnya terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hokum misalnya di Indonesia saat ini ada hukum yang berlaku secara formal dan ada hukum adat dan hukum Islam. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata.
Rasulullah tidak pernah menghukum mati orang yang murtad. Beliau bukan orang yang senang dengan kekerasan, beliau tidak pernah berperang tanpa alasan yang kuat, bahkan sesungguhnya beliau adalah seseorang yang sangat cinta damai. Al Quran sendiri tidak menjelaskan tentang hukuman mati bagi orang yang murtad. Hukuman bagi mereka ditetapkan kelak di akhirat. Justru satu ayat Al Quran menekankan "Lakum dinukum waliyadin - Bagimu agamamu bagiku agamaku, dan "Laa ikraha fiddiin - Tidak ada paksaan dalam agama". Dasar menetapkan hukuman mati adalah dari hadist. Sedangkan hadist sangatlah situasional dan tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dalam penafsirannya. Contoh dari situasional hadist adalah bahwa Rasulullah selalu mengenakan sorban dan pakaian adat Arab jaman dahulu, dan tentu saja hal itu sama sekali tidak wajib untuk diikuti oleh umatnya yang tersebar di seluruh dunia di jaman modern ini. Saya sangat meyakini bahwa hadist yang menghukum mati orang yang murtad adalah berkaitan dengan kondisi peperangan yang dihadapi oleh umat Islam saat itu.
Apabila analisa tentang penjatuhan hukuman mati bagi orang yang murtad benar, bukan dalam konteks desersi atau perang, adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia - HAM. Dan hal itu dilarang dalam agama Islam, karena Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jangan sampai ingin menghukum satu pelanggaran HAM, malah lebih banyak melakukan pelanggaran HAM yang lain.
Share this article :

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dewa Copas - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template