Memahami Filsafat MullaSadra dalam al-Hikma al-Muta’aliya
Banyak kalangan yang menganggap bahwa filsafat Islam telah mati terkubur selama-lamanya setelah kritik mematikan yang dilancarkan oleh Al-Ghazali pada abad ke-12 Masehi melalui bukunya yang masyhur, yaitu Tahafut al-Falasifa. Pandangan semacam ini jelas tidak tepat. Di dunia Sunni di kawasan timur, filsafat mungkin memang telah mati. Tetapi di kawasan lain, seperti di Barat (ditandai dengan lahirnya tokoh seperti Ibn Rusyd atau Ibn Khaldun), dan di dunia Syiah, filsafat tetap hidup terus, antara lain ditandai dengan Mulla Sadra yang muncul dengan gagasan orisinal – ia melakukan sintesis antara berbagai sistem filsafat sebelumnya: filsafat rasional ala kaum peripatetik (al-masysya’un), kaum illuminasionis (ishraqiyyun) , dan tradisi dialektis (jadal) yang dikembangkan oleh para mutakallimun (teolog Muslim). MASING-masing cabang ilmu dalam sejarah pengetahuan Islam klasik mempunyai ciri masing-masing. Secara umu, kita bisa membagi cabang ilmu dalam Islam ke dalam tiga bidang pokok. Pertama adalah ilmu-ilmu pembantu yang kerap disebut dengan ‘ilm al-alat atau ‘ilm al-adawat. Kedalam cabang ini, kita bisa memasukkan sejumlah cabang ilmu, misalnya ilmu yang terkait dengan ‘grammar’ atau tata-bahasa –nahwu, sharaf; atau ilmu yang berkenaan dengan bagaimana suatu ujaran diproduksi, yakni bayan dan badi’, atau ilmu mengenai bagaimana suatu makna diproduksi, yakni ma’ani. Kedalam bidang ini juga bisa dimasukkan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu persyairan (‘arudl) dan perkamusan (leksikografi, ‘ilm al-ma’ajim). Cabang kedua adalah ilmu yang berusmber dari tradisi (al-‘ulum al- naqliyya) yang mencakup tafsir dan hadis. Cabang ketiga adalah ilmu- ilmu non-tradisional. Dalam cabang ketiga ini, kita menjumpai dua sub- cabang, yakni ilm-ilmu rasional, seperti filsafat dan kalam (teologi Islam), dan ilmu-ilmu yang berbasis pada pengalaman (dhawq) yang biasanya dikembangkan oleh kalangan sufi. Sub-cabang kedua ini juga sering disebut sebagai ilmu- ilmu gnostik atau ‘irfan. (Lihat diagram di halaman berikut). Masing-masing cabang pengetahuan ini memiliki semacam asumsi epistemologis yang unik dan khas pada dirinya masing-masing. Pada ilmu bantu, asumsinya sangat jelas: tugas cabang ini adalah menjadi semacam ‘budak’ yang mengabdi pada ilmu-ilmu lain, terutama ilmu- ilmu tradisional. Mereka tak memiliki nilai dan harga pada dirinya sendiri; sebaliknya, nilai mereka tergantung pada ilmu-ilmu lain kepada siapa mereka diperbantukan. Cabang kedua, dalam tradisi pengetahuan Islam klasik, dianggap sebagai ilmu utama – The Queen of Knowledge. Sebab ilmu-ilmu inilah yang menjadi basis keberagamaan seorang Muslim. Seorang Muslim menganut suatu ontologi yang khas, yakni, seluruh wujud di alam semesta ini hanyalah merupakan wujud yang sifatnya ‘contingent’ atau, memakai bahasa yang populer di kalangan para teolog Islam, mumkin. Wujud yang ‘tergantung’ dan ‘mumkin’ ini beredar pada Wujud yang bersifat Mutlak (wajib al-wujud), yakni Tuhan. Seperti sebuah ‘sistem matahari’ dalam astronomi modern, wujud-wujud yang tergantung adalah seperti sebuah planet yang beredar di sekitar Matahari yang tak lain ialah Wujud Yang Mutlak itu. Tugas wujud yang tergantung itu ialah mengabdi atau, dalam bahasa Quran (QS 51:56), beribadah, menyembah Wujud Yang Mutlak itu. Ilmu-ilmu tradisional menempati posisi yang paling tinggi dalam hirarki ilmu- ilmu Islam tradisional sebab inilah cabang ilmu yang melapangkan jalan menuju kepada penyembahan dengan cara yang benar. Secara epistemologis, cabang kedua ini menganut suatu metode tertentu dalam mencapai apa yang disebut dengan ilmu atau pengetahuan. Apa yang disebut ilmu dalam ilmu-ilmu tradisional ialah ilmu yang berasal dari suatu riwayat atau penukilan dari sumber yang otoritatif. Yang disebut dengan sumber otoritatif di sini bukanlah daftar sejumlah referensi atau bibliografi seperti kita kenal dalam sistem pengetahun modern sekarang; melainkan sejumlah orang yang dianggap sebagai sumber utama dalam proses produksi ilmu-ilmu keislaman. Orang pertama yang dianggap sebagai sumber otoritatif tentu saja ialah Nabi Muhammad. Ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli ialah ilmu yang bersumber pada Nabi atau generasi awal pasca-Nabi yang disebut dengan generasi salaf. Ilmu-ilmu yang tak bersumber dari mereka bukanlah ilmu yang mempunyai otoritatif sejauh menyangkut soal-soal keagamaan. Sementara itu, cabang ketiga, yakni ilmu-ilmu non-rasional, memiliki asumsi epistemologis yang sama sekali berbeda. Ilmu-ilmu ini didasarkan pada sumber non- kenabian, dan itu bisa berarti dua: yakni proses penalaran rasional dan pengalaman personal yang sering terjadi pada kaum mistikus. Tentu saja, antara tiga cabang pengetahuan ini terdapat semacam “persaingan”, entah terbuka atau tersembunyi, terutama antara cabang ilmu yang kedua dan ketiga. Perseteruan antara para sarjana Islam yang bekerja pada ilmu-ilmu tradisional di satu pihak, dan sarjana lain yang bekerja pada bidang pengetahuan rasional atau gnostik, sudah sering kita baca. Tetapi, profil ideal seorang sarjana Islam tradisional ialah dia yang mampu mengkombinasikan secara seimbang antara ketiga cabang pengetahuan tersebut. Seorang ‘alim dalam pengertian klasik ialah sarjana yang menguasai secara “ensiklopedistik” semua cabang utama pengetahuan dalam Islam, baik ilmu bantu, ilmu tradisional, maupun ilmu non-tradisional. Pemikir Muslim yang kita kaji saat ini, yakni Shadr al-Din Muhammad b. Ibrahim b. Yahya al-Qawami al- Shirazi, atau yang dikenal dengan Mulla Sadra (w. 1636), merupakan contoh seorang ‘alim dalam pengertian tradisional semacam ini. Meskipun Mulla Sadra lebih dikenal sebagai syaikh al-muta’allihin, guru para teosof, tetapi ia juga menguasi dengan baik ilmu-ilmu tradisional, terutama dalam tradisi Syiah. Ini, misalnya, ditunjukkan melalui komentarnya atas sebuah karya penting di bidang hadis dalam lingkungan Syiah, yakni al-Kafi karangan al-Kulaini. Mirza Ali Mudarris, pengarang kamus biografis Raihanat al-Adab, memberikan deskripsi mengenai Sadra sebagai berikut: “Dia adalah filsuf dan ahli hikmah Islam terbesar di abad ke-11 Hijriyah; dia mengombinasikan penguasaan atas berbagai cabang pengetahuan: tasawwuf (mistik Islam), kalam (teologi Islam), dan filsafat; selain itu, ia juga menguasai secara mendalam (mutabahhir) dalam bidang tafsir dan hadis.” (Hasan 2005:15) Dalam bidang ilmu-ilmu tradisional, Mulla Sadra berguru pada Syeikh al-Amuli. Sementara dalam bidang ilmu-ilmu rasional, ia berguru kepada Sayyid Muhammad Baqir yang dikenal dengan Mir Damad (w. 1632). Ia hidup pada masa kerajaan Safawiyyah yang berkuasa di Iran dan kawasan sekitarnya (hingga Afghanistan dan Asia Tengah) sejak 1501-1772. Pada masa kerajaan inilah, mazhab Syiah Itha ‘Asyariyyah menjadi mazhab resmi negara. Dengan demikian, Mulla Sadra adalah salah satu filsuf penting dari kalangan Syiah yang mengembangkan sistem filsafat yang independen dan orisinal. Tentu saja, meski ia hidup dalam iklim intelektual yang dipengaruhi oleh tradisi Syiah, ia mempelajari sistem filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf Muslim yang berasal dari dunia Sunni, seperti Ibn Sina dan Al-Farabi. Banyak kalangan yang menganggap bahwa filsafat Islam telah mati terkubur selama-lamanya setelah kritik mematikan yang dilancarkan oleh Al-Ghazali pada abad ke-12 Masehi melalui bukunya yang masyhur, yaitu Tahafut al-Falasifa. Pandangan semacam ini jelas tidak tepat. Di dunia Sunni di kawasan timur, filsafat mungkin memang telah mati. Tetapi di kawasan lain, seperti di Barat (ditandai dengan lahirnya tokoh seperti Ibn Rusyd atau Ibn Khaldun), dan di dunia Syiah, filsafat tetap hidup terus, antara lain ditandai dengan Mulla Sadra yang muncul dengan gagasan orisinal – ia melakukan sintesis antara berbagai sistem filsafat sebelumnya: filsafat rasional ala kaum peripatetik (al-masysya’un), kaum illuminasionis (ishraqiyyun) , dan tradisi dialektis (jadal) yang dikembangkan oleh para mutakallimun (teolog Muslim). Al-Hikma al-Muta’aliya Buku ini dianggap sebagai karya puncak dan paling penting dari Mulla Sadra. Dalam pembukaan buku ini, ia menulis semacam “autobiografi intelektual” singkat yang melatari kelahirannya. Di sana, Mulla Sadra menyebutkan: ia telah mempelajari “al-falsafa al- Ilahiyya”, filsafat ketuhanan, sejak usia yang sangat muda sekali (al- hadatha wa al-ra’ian). Pada suatu titik tertentu, ia seperti mengalami frustrasi dengan ilmu yang selama ini ia pelajari, sebab, lingkungan intelektual di sekitarnya menampakkan permusuhan terhadapnya. Sebagaimana kita tahu, filsafat memang merupakan bidang pengetahuan yang kerap dicurigai oleh para ulama Islam, terutama mereka yang merupakan pemangku ilmu-ilmu tradisional (lihat diagram di atas). Suasana intelektual yang membenci filsafat ini membuat Mulla Sadra melakukan “pengucilan diri” dengan menjauhi keramaian. Ia melakukan meditasi bertahun- tahun, dengan tetap memperdalam pengetahuan yang ia peroleh selama ini. Sementara itu, ia tidak saja melakukan pendalaman secara intelektual, tetapi juga menjalani semacam “olah batin” dengan cara membersihkan hati dari seluruh kotoran dan menjalankan ibadah secara khusyuk. Selama bertahun- tahun ia menjalani pengucilan diri ini, hingga ia sampai pada suatu titik di mana ia mengalami semacam iluminasi (ishraq), semacam “aha moment” – ia mengalami suatu “stasis” atau keadaan rohaniah di mana ilmu- ilmu yang semula ia peroleh melalui metode pembuktian rasional model “burhan” (demonstratif), sekarang diperkuat lagi melalaui “musyahada” atau pengalaman spiritual. Pengalaman Mulla Sadra ini agak mirip-mirip dengan yang dialami oleh al-Ghazali, ulama penting dari dunia Sunni. Sebagaimana Mulla Sadra, al-Ghazali pernah melakukan pengucilan diri, menempuh meditasi bertahun-tahun, menjalani kehidupan ala para mistikus atau mutasawwifin. Di ujung proses pengucilan diri ini, baik Mulla Sadra atau al-Ghazali mengalami keadaan yang nyaris serupa, yaitu ketersingkapan yang membuat mereka berdua menyaksikan ilmu yang sejati, bukan ilmu yang dipelajari melalui metide rasional atau burhan. Bagi kedua ulama dan filsuf besar Muslim ini, metode intuitif adalah jalan yang lebih bisa diandalkan untuk mencapai pengetahuan yang sejati (al-haqq). Perbedaan al-Ghazali dan Mulla Sadra ialah dalam hal berikut ini: al-Ghazali, setelah sampai kepada pengalaman intuitif itu, tidak menuliskan karya filsafat; sebaliknya ia memakai metode intuitif itu untuk menegaskan supremasi ortodoksi ilmu-ilmu tradisional, terutama ilmu syariat. Ini bisa kita lihat dalam karya monumentalnya Ihya ‘Ulum al-Din. Sementara, Mulla Sadra, menempuh jalan lain. Setelah mencapai tahap pengetahuan intuitif itu, ia membangun sistem filsafat yang menggabungkan antara berbagai tradisi filsafat yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, Mulla Sadra memakai metode intuitif itu untuk membangun sistem filsafatnya sendiri. Jika pada al-Ghazali apa yang disebut dengan metode dhawq dan kasyaf atau intuisi dan ilmuniasi hanyalah merupakan pengalaman individual yang dialami melalaui laku ibadah, pada Mulla Sadra, metode itu adalah jalan untuk mencapai suatu subtansi pengetahuan yang spesifik, yaitu pengetahuan yang belakangan ia sebut sebagai “al- hikma al-muta’aliya”. Judul lengkap karya ini ialah Al- Hikma al-Muta’aliya fi al-Asfar al-‘Aqliyya al-Arba’a – Filsafat Transenden, tentang perjalanan akal yang empat tingkat. Judul ini langsung mengingatkan kita pada buku yang pernah ditulis oleh teolog skolastik Kristen dari Italia yang hidup pada abad ke-13, Santo Bonaventura (w. 1274). Buku itu ialah Itinerarium Mentis in Deum (Perjalanan Jiwa Menuju Tuhan). Metafor “perjalanan”, itinerarium atau, dalam istilah mistik Islam, suluk, memang kerap dipakai oleh praktisi mistik dari berbagai tradisi agama. Mulla Sadra, dalam karya ini, memalai istilah safar yang tiada lain arinya ialah perjalanan, petualangan rohaniah. Ada empat jenis petualangan rohaniah/intelektual yang diulas Mulla Sadra melalui bukunya ini: 1. Perjalanan dari dunia ciptaan (al- khalq), dunia kasat mata, menuju kepada dunia pencipta, dunia kebenaran sejati (al-Haqq). Perjalanan ini ditempuh dengan cara melakukan semacam “observasi empirik” terhadap fenomena natural. Melalui observasi terhadai dunia naturan yang serba beragam, akal sampai kepada sestau yang mempersatukan keragaman itu. Sebut saja, ini adalah empirisme rohaniah ala Mulla Sadra. 2. Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (al-Haqq) melalui pengetahuan yang sejati. Inilah fase transendensi: tahap melampaui keragaman alam natural, dan tenggelam dalam Ketunggalan Mutlak yang tak mengenai kepelbagaian aksidental (‘aradl). 3. Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas. Inilah adalah empirisme kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Sebab, keragaman dilihat bukan sebagai keragaman pada dirinya sendiri, tetapi sebagai manifestasi dari Ketunggalan Mutlak. 4. Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan. Perbedaan antara tahap keempat dan ketiga ialah: pada tahap ke-3, yang kita jumpai adalah perjalanan menuju (ila) kepada dunia ciptaan, sementara pada tahap keempat, kita berjumpa dengan perjalanan di dalam (fi) dunia ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain, pada tahap keempat inilah terdapat puncak petualangan, di mana akal tenggelam di dalam alam ciptaan, tetapi memandangnya dengan ilmu sejati (al-Haqq). Akal menjadi bagian dari dunia, tetapi juga sekaligus berjarak dari dunia. Ambiguitas tahap keempat ini menjelaskan secara ringkas semacam “kosmologi” dan “ontologi” Sadrian. Tentang Wujud atau Ada Salah satu dimensi penting dalam pemikiran Mulla Sadra ialah “teori”-nya mengenai wujud atau ada, atau dalam istilah yang kita kenal dalam tradisi filsafat Barat: Being. Sebagaimana kita lihat dalam penjelasan tentang rangkaian perjanalan akal di atas, permulaan perjalaan itu ialah pada level dunia ciptaan, yakni dunia wujud. Tigas filsafat utama, menurut Mulla Sadra, ialah mengurani mengenai dasar dari perjalanan pertama ini, ialah tentang wujud. Di sini, kita pasti langsung teringat pada Heidegger yang memulai karyanya yang masyhur Being and Time dengan investigasi atau penyelidikan mengenai Being atau Wujud (...[I]t has been mantained that ‘Being’ is the ‘the most universal’ concept. An understanding of Being is already included in conceiving anything which one apprehends in entities. [Heidegger 1962:22]). Bagi Mulla Sadra, wujud universal yang abstrak hanyalah gambaran mental saja (i’tibar ‘aqli). Wujud yang otentik terdapat pada wujud yang kongkrit (al-wujud al-‘aini), bukan wujud abstrak dalam konsepsi mental kita. Dengan kata lain, Mulla Sadra cenderung melihat keutamaan (supremacy) eksistensi ketimbang esensi. Wujud abstrak dalam bentuk “yang esensial” hanyalah ada dalam konsep yang telah mengabstraksikan dari wujud-wujud yang kongkrit suatu konsepsi umum yang diandaikan sebagai “esensi” (mahiyat) wujud- wujud tersebut. Pandangan Mulla Sadra ini berseberangan dengan Suhrawardi, filsuf-mistikus yang dikenal sebagai Syaikh al-Ihraq atau guru filsafat iluminasi. Menurut Suhrawardi, apa yang disebut dengan “wujud” dalam pengertian kemenjadian (al- hushul) atau ketertubuhan dalam wujud yang kongkrit tidaklah mungkin terjadi. Sebab jika proses kemenjadian adalah wujud itu sendiri, maka setiap yang ada mempunyai wujud sendiri. Sementara wujudnya juga mempunya wujud pula, dan demikian seterusnya, ad infinito. Karena rangkaian wujud yang tanpa henti semacam itu mustahil terjadi, maka apa yang disebut dengan wujud dalam pengertian wujud kongkrit, juga tak mungkin terjadi. Dengan kata lain, Suhrawardi lebih cenderung melihat wujud hakiki ada pada level konseptual; sementara wujud kongkrit hanyalah merupakan epifani, pencerminan dari wujud hakiki yang ada pada level konseptual. Pandangan Suhrawardi lebih mendekati konsepsi Plato mengenai Dunia Ide. Mulla Sadra justru menempuh jalur lain di luar konsepsi Platonik ini. By Ulil
Label:
FilSuf