Pengertian Tabarruk Tabarruk berasal dari kata al- Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam keluarga adalah ketika anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia. Barakah dalam waktu adalah lamanya masa dan terselesaikan semua urusan dalam masa yang ada. Barakah dalam kesehatan adalah kesempurnaan dalam kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur adalah panjang usia dan banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang tersebut. Barakah dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak dan diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah itu adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan berlimpahnya nikmat yang diperoleh dari Allah. Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah: “Thalab Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari Allah. Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu- ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf: 93) “Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93) Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali. Dalil-Dalil Tabarruk Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup Rasulullah maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran syari’at ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil- dalil yang sangat banyak, di antaranya sebagai berikut: 1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-kukunya. A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga membagi-bagikan potongan kukunya. Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al- Bukhari dan al-Imam Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata: “Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”. Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah...!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya. Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang- orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Umu Sulaim”. (HR. Muslim) Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang- orang yang ada di dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu Sulaim. B. Rasulullah membagikan potongan kuku-kukunya. Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya bahwa Rasulullah memotong kuku-kukunya dan membagi-bagikannya di antara manusia. Faedah Hadits: Dalam hadits-hadits di atas terdapat penjelasan dan dalil- dalil kuat tentang tabarruk dengan peninggalan- peninggalan Rasulullah. Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan potongan rambutnya di antara para sahabatnya, agar mereka bertabarruk dengannya. Juga agar mereka menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, serta menjadikan rambut-rambut yang mulia tersebut sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada-Nya. Rasulullah membagi-bagikan rambut-rambutnya agar menjadi berkah yang terus menerus ada dan sebagai kenangan bagi para sahabatnya, juga bagi orang- orang yang datang sesudah mereka. Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah dengan peninggalan- peninggalan Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi yang diwarisi kaum Khalaf dari kaum Salaf. Sudah barang tentu Rasulullah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-nya bukan untuk dimakan oleh para sahabat tersebut, melainkan agar mereka bertabarruk dengan rambut dan potongan kuku tersebut. 2. Para sahabat juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai berikut: “Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”. 3. Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut: “Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu). Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya, kemudian Hanzhalah mengucapkan: “Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya. (Diriwayatkan al-Imam ath- Thabarani dalam al-Mu’jam al- Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya). 4. Para Tabi’in melakukan tabarruk dengan kemuliaan mata sahabat Rasulullah yang pernah melihat Rasulullah, dan bertabarruk dengan tangan yang telah menyentuh Rasulullah di masa hidupnya. Perlakuan kaum Tabi’in ini sedikitpun tidak diingkari oleh para sahabat Nabi, sebaliknya mereka menyetujui perlakuan tersebut. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut: “Dari Tsabit al-Bunani -Salah seorang dari Tabi'in ternama, murid Anas ibn Malik- berkata: “Apabila aku mendatangi Anas ibn Malik, ia (Anas) --selalu-- diberitahu tentang kedatanganku, maka aku menemuinya dan meraih kedua tangannya untuk aku cium. Aku berkata: “Sungguh, kedua tangan inilah yang telah menyentuh jasad Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua matanya, aku berkata: “Sungguh, kedua mata inilah yang telah melihat Rasulullah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah para perawi Shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakar al-Maqdimi dan dia adalah perawi yang terpercaya (Tsiqah). 5. Para Sahabat melakukan tabarruk dengan tanah kuburan Rasulullah. al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad, al- Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan kitab al- Mu’jam al-Awsath, dan al-Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak- nya meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Marwan ibn al- Hakam, -salah seorang Khalifah Bani Umayyah di masanya-, datang melewati makam Rasulullah. Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam tersebut karena menumpahkan kerinduan dan ingin memperoleh berkah dari Rasulullah. Marwan menghardik orang tersebut: “Sadarkah engkau dengan apa yang sedang engkau perbuat?!”. Orang dimaksud menoleh, dan ternyata dia adalah sahabat Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Kemudian sahabat Abu Ayyub berkata: “Iya (aku sadar), aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu. Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jangan tangisi agama ini jika dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh orang yang bukan ahlinya”. (Maksud sahabat Abu Ayyub: “Engkau, wahai Marwan tidak layak menjadi seorang Khalifah”). Dalam kitab Wafa’ al-Wafa, as- Samhudi meriwayatkan dengan sanad yang jayyid (kuat) bahwa sahabat Bilal bin Rabah ketika pindah ke Syam dan tinggal di sana, kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah”. As-Samhudi juga menukil dari Kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir bahwa ketika Rasulullah telah dimakamkan, as-Sayyidah Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam lalu mengambil segenggam tanah dari makam Rasulullah tersebut dan ia letakkan tanah itu ke matanya kemudian ia menangis...”. 6. al-Imam al-Hakim dalam al- Mustadrak, dan al-Hafizh al- Baihaqi dalam kitab Dala-il an- Nubuwwah, dan lainnya meriwayatkan dengan sanad-nya dari sahabat Khalid ibn al-Walid, bahwa di perang Yarmuk beliau kehilangan pecinya. Khalid berkata -kepada prajuritnya-: “Carilah peci saya!”. Mereka mencari-cari namun mereka tidak menemukannya. Setelah dicari-cari kembali akhirnya mereka menemukannya dan ternyata peci tersebut adalah peci yang sudah sangat lusuh. Khalid berkata:“Ketika Rasulullah melakukan umrah (Ji’ranah) dan memotong rambutnya, banyak orang memburu bagian pinggir rambutnya. Namun aku berhasil mendahului mereka meraih rambut dari ubun-ubunnya dan aku letakan di peci ini, hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti dan rambut itu bersama-ku kecuali aku diberi kemenangan”. Kisah ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Al- Muhaddits Habib ar-Rahman al- A’zhami dalam Ta’liq-nya terhadap al-Mathalib al-‘Aliyah karya al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan: “al-Hafizh al-Bushiri mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang shahih. Al- Hafizh al-Haytsami mengatakan: Ath-Thabarani dan Abu Ya’la meriwayatkan riwayat serupa, dan para perawi keduanya adalah para perawi yang shahih” . 7. Para sahabat melakukan tabarruk dengan air wudlu Rasulullah. al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aun ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah dan aku melihat Bilal mengambilkan air wudlu-nya, dan aku melihat orang-orang merebutkan -bekas- air wudlu Rasulullah tersebut. Orang yang dapat mengambilnya lalu ia mengusapkannya ke tubuhnya, dan orang yang tidak memperoleh bagian, maka ia mengambil dari tangan temannya yang masih basah”. 8. Para sahabat bertabarruk dengan bagian mimbar Rasulullah. Ibn Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abu Maududah berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid ibn Abd al-Malik bin Qasith, bahwa ia berkata: “Aku menyaksikan banyak dari para sahabat Rasulullah jika masjid telah sepi mereka berdiri menuju bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Nabi lalu mereka mengusapnya dan berdoa”. Abu Mawdudah berkata: “Saya juga melihat Yazid melakukan hal itu”. 9. Dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, -putera al-Imam Ahmad ibn Hanbal-, bahwa ia (‘Abdullah) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal), tentang seseorang yang menyentuh dan mengusap bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Rasulullah untuk bermaksud bertabarruk dengannya, demikian juga aku tanyakan tentang orang yang mengusap kuburan Rasulullah -untuk tujuan itu-”. Ayahku menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)”. Dalam Kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal disebutkan: “Aku (‘Abdullah) bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang orang yang menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal itu terhadap kuburan Rasulullah atau semacamnya, ia dengan itu bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ia (Ahmad ibn Hanbal) menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)” . Dengan demikian, apa yang hendak dikatakan oleh kalangan anti tabarruk dari orang-orang Wahhabiyyah tentang Imam Ahmad ibn Hanbal yang mereka banggakan sebagai panutan mereka?! Apakah mereka akan mengatakan Ahmad ibn Hanbal mengajarkan perbuatan syirik, karena beliau membolehkan dan bahkan mencontohkan tabarruk?! Hendak “kabur” ke mana mereka dari bukti-bukti ini?! Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan: A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!. B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!. Jawab: A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” . Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al- Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang- orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan: “Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” . Bahkan dalam kitab al-Hikayat al- Mantsurah karya al-Hafizh adl- Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl- Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al- Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali. “-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, - salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath- Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” . Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas. “Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang- orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” . Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al- Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al- Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.