Reformulasi FikihKebebasan Beragama - Kritisi atas hukuman mati
“Melalui hadis-hadis ini dapat diketahui bahwa nabi Muhammad Saw. tidak pernah menghukum orang yang sudah beragama Islam dan kemudian keluar (murtad), juga tidak pernah memerintahkan sahabatnya untuk membunuh orang murtad. Dengan demikian nabi Saw. sangat membebaskan manusia dalam memilih agama, baik bagi yang belum beragama sama sekali maupun bagi yang sudah menganut agama tertentu namun mengambil langkah berpindah ke agama lain atau bahkan tidak beragama sama sekali. Sikap toleransi agung yang dilakukan nabi Muhammad Saw. ini berdasarkan penegasan dari Allah bahwa setiap individu dipersilahkan memilih agama yang ia sukai atau tidak memilih sama sekali (QS. 2:256, QS. 10:108, QS. 17:15, QS. 18:29, QS. 27:93, QS. 30:44, QS. 35:39, QS. 39:49.).” Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi aral melintang bagi jalannya upaya penegakkan hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia (HAM). Dalam fikih klasik, kebebasan beragama nyaris tidak memiliki ruang pembahasan, fikih ini mengandaikan bahwa agama yang paling benar adalah Islam, sehingga kebebasan beragama yang berarti membebaskan manusia untuk memilih agama khususnya di luar Islam atau mungkin tidak memilih (a theis) sama sekali tidak diakui. Sementara itu QS. 2:256 yang secara tegas menjadi pernyataan Tuhan bahwa dalam Islam manusia diberi hak sepenuhnya untuk menentukan agamanya masing- masing atau mungkin tidak beragama kerap kali tidak diakui eksistensi keberadaannya, yakni ayat tersebut telah dieliminisir oleh ayat pedang. Bertolak dari pendapat ini, para ulama` yang tidak mengakui penghapusan hukum terhadap ayat di atas dan yang tidak mempercayai keberadaan nâsikh mansûkh dalam al-Quran dengan lantang menyuarakan bahwa kebebasan beragama dalam Islam sangat absah keberadaannya. Namun pendapat kedua ini melahirkan persoalan lanjutan, apakah pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama hanya tertuju bagi orang yang belum memiliki agama sama sekali, atau sekaligus mengakui konversi agama (riddah) seperti berpindah dari Islam ke Kristen, atau keluar dari salah satu agama tertentu untuk memilih hidup tanpa agama? Tulisan singkat ini hendak menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut sembari mengawali pembahasannya dengan menelanjangi teks-teks keagamaan (al-nushûsh al-syar’iyyah) yang seringkali dijadikan kaki pijak referensial fuqahâ masa lalu dalam merumuskan larangan keluar dari agama Islam (riddah) dan sanksi hukuman bagi yang melakukannya. Menyingkap Ekslusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama Sebagaimana diungkap di muka bahwa kebebasan beragama dalam fikih klasik sama sekali tidak diakui keabsahannya. Bahkan bagi sebagian ulama yang mengakui keberadaannya, kebebasan beragama sering kali hanya diberikan bagi orang yang belum menganut agama sama sekali atau sudah menganutnya namun bukan Islam, sehingga bagi orang yang sudah beragama Islam dilarang keluar (riddah) dari agama ini, dan bagi yang tidak mengindahkan larangan ini maka dihukum mati. Mereka mengandaikan bahwa agama Islam bagai mulut buaya galak, barangsiapa yang telah masuk ke dalam agama Islam maka tidak dapat keluar dengan selamat. Jammal al-Banna dalam penelitiannya yang diabadikan dalam beberapa karya intelektualnya seperti dalam buku Hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqâd fî al- Islâm (Dâr al-Fikr al-Islâmî: Kairo, tt. hal. 24-39), Kallâ Tsumma Kallâ; Kallâ li fuqahâ` al-taqlîd kallâ li ad’iyâ` al-tanwîr (Dâr al-Fikr al- Islâmî: Kairo, tt. hal. 71-78), al- Islâm wa Tahdiyât al-‘Ashr (hal. 56-63), dan yang lainnya menyimpulkan bahwa hadis nabi Saw. yang dijadikan sumber hukum perbincangan murtad oleh para fuqahâ` ada 4 macam. Pertama, hadis yang menceritakan bahwa ada sekelompok non muslim dari daerah ‘Uraiynah datang kepada nabi Muhammad Saw., mereka berbai’at kepada nabi Saw. untuk masuk ke agama Islam, namun setelah itu tanah tempat tinggal mereka menjadi gersang dan tidak cocok tanam. Mereka mengadu kepada nabi Saw. tentang hal itu. Lalu nabi Saw. menganjurkan kepada mereka untuk ikut mengembala bersama pengembala unta agar mereka dapat meminum air susu unta dan air kencingnya. Kemudian mereka pun mengikuti anjuran tersebut hingga tubuh mereka kembali sehat, namun setelah itu mereka membunuh para pengembala unta dan membawa lari unta-untanya. Hadis ini memiliki riwayat yang beragam, namun makna yang dikandungnya sama. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya yang artinya demikian: “Telah bercerita kepadaku Yahyâ bin Yahyâ al-Tamîmî dan Abû Bakar bin Abî Syaibah, keduanya dari Hasyîm dan lafadznya dari Yahyâ. Yahyâ berkata, telah bercerita kepadaku Hasyîm, dari Abdil ‘Azîz bin Shuhaib dan Humaid, dari Anas bin Mâlik, bahwa sesungguhnya sekelompok orang dari tanah ‘Uraiynah datang kepada Rasulullah Saw. di Madinah, lalu mereka tidak cocok dengan udara di tempat tersebut. Kemudian nabi Saw. bersabda kepada mereka: “Jika kalian berkenan keluarlah bersama (pengembala) unta zakat, lalu minumlah air susu unta dan air kencingnya.” Kemudian mereka melakukan hal itu dan mereka kembali sehat. Mereka mendekati para pengembala dan kemudian membunuhnya, mereka kemudian keluar dari Islam dan membawa beberapa unta milik rasulullah Saw. Setelah kejadian itu sampai pada rasulullah Saw., rasulullah mengutus para sahabatnya untuk mencari jejak mereka. Setelah mereka di bawa di hadapan rasulullah Saw., rasulullah memotong tangan dan kaki mereka serta mencukil matanya. Kemudian nabi Saw. meninggalkannya di tanah lapang hingga mati.” Sebagaimana terlihat secara jelas dalam hadis di atas bahwa nabi Muhammad Saw. telah menghukum mati terhadap kelompok ‘Uraniyyîn disebabkan mereka telah membunuh para pengembala unta, sehingga mereka berhak untuk diqishâsh. Hukuman tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemurtadan, andai mereka tidak murtad pun tetap dihukum mati. Kedua, hadis yang menceritakan bahwa rasulullah Saw. melarang membunuh orang muslim kecuali apabila melakukan salah satu dari tiga perbuatan; 1- membunuh muslim lain, 2- zina setelah menikah, dan 3- berpisah dari kelompoknya. Hadis ini juga memiliki riwayat dan kandungan makna yang beragam. Dari keberagaman makna ini secara garis besar dapat diurai menjadi dua makna, yaitu hadis yang menyatakan orang yang keluar dari agama Islam harus dibunuh seperti yang diriwayatkan Abdullah dan Ibn Mas’ûd, dan hadis yang memerintahkan menghukum mati orang yang memerangi agama Allah dan utusan-Nya sebagaimana riwayat dari A`isah. Riwayat yang menginformasikan bahwa orang yang keluar dari agama Islam harus dihukum mati berbunyi: “Lâ yajûzu qatlu muslimin illâ fî hâlatin min tsalâtsin: qatli nafsin, wa zinan ba’da ihshânin, wal mâriq ‘anid dîn al-mufâriq lil jamâ’ah (Tidak boleh membunuh orang muslim kecuali dalam tiga kondisi: membunuh orang, zina setelah menikah, keluar dari agama dan memisahkan diri dari kelompok umat Islam).” Sedangkan riwayat yang menceritakan bahwa orang yang dihukum mati adalah orang yang murtad dan memerangi Allah dan utusan-Nya berbunyi: “Lâ yahillu qatlu muslimin illâ fî ihdâ tsalâtsi hishâlin: zânin muhshanin fa yurajjamu, wa rajulin qatala musliman muta’ammidan, wa rajulin yakhruju minal islâm fa yuhâribullaha ‘azza wa jalla wa rasûlahu fa yuqtalu (Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali dalam salah satu dari tiga kondisi; pezina yang sudah menikah maka dirajam, seorang lelaki yang membunuh orang muslim dengan disengaja, dan orang lelaki yang keluar dari Islam kemudian memerangi [mengusik agama] Allah dan utusan-Nya.” Jammal al-Bannâ menyatakan, bahwa kedua hadis di atas kontradiktif, hadis pertama menjatuhkan hukuman mati kepada “orang yang murtad”, sedangkan hadis kedua yang dihukum mati adalah “murtad yang memerangi agama Allah dan utusan-Nya”. Namun hadis pertama yang hanya menggunakan kata “wal mâriq ‘anid dîn al-mufâriq lil jamâ’ah (keluar dari agama dan memisahkan diri dari kelompok umat Islam)” mengindikasikan bahwa hadis ini kandungan artinya tidak jelas (ghair sharîh) sehingga memberikan ruang sepekulasi ke pemaknaan lain, sedangkan hadis kedua dengan memuat kata “wa rajulin yakhruju minal islâm fa yuhâribullaha ‘azza wa jalla wa rasûlahu fa yuqtalu (dan orang lelaki yang keluar dari Islam kemudian memerangi [mengusik agama] Allah dan utusan-Nya)” menjadikan kandungan teks ini sangat jelas (shârih) sehingga dapat menutup kemungkinan- kemungkinan penafsiran lain. Jika demikian maka hanya hadis kedua yang patut dijadikan sumber penetapan hukum Islam, yakni orang yang keluar dari agama Islam dan memerangi agama Allah dikenai hukuman mati. Hukuman mati ini penyebab utamanya bukan karena ia murtad, melainkan sebab ia mengusik keberadaan agama Islam atau yang dalam hadis disebut memerangi agama Allah dan utusan-Nya. Ketiga, hadis yang secara tekstual mengandung arti bahwa orang yang mengganti agamanya maka harus dibunuh. Hadis ini memiliki riwayat yang beragam, antara lain: “Haddatsanâ Ibn ‘Uyainah ‘an Ayyûb ‘an ‘Ikrimah ‘an Ibn ‘Abbâs qâla: Qâla rasûlullahi Saw.: Man baddala dînahû faqtulûh (Telah bercerita kepadaku Ibn ‘Uyainah dari Ayyûb, dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbâs, Ibn ‘Abbâs berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah).” Riwayat lainnya berbunyi: “An ‘Ikrimah anna ‘Aliyyan utiya bizanâdiqah fa ahraqahum fa balagha dzalika Ibna Abbâs faqâla: Lau kuntu anâ lam uhriqhum li nahyi rasûlillahi Saw.: Lâ tu’adzdzibû bi’adzâbillah wa la qataltuhum liqaulihi ‘alaihis salâm: Man baddala dînahû faqtulûh (Diceritakan dari ‘Ikrimah bahwa telah didatangkan orang-orang zindiq kepada Ali, lalu Ali membakar semua orang zindiq itu. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Ibn Abbâs dan Ibn Abbâs berkata: “Andai (saat kejadian itu) aku hadir aku tidak akan membakarnya karena Rasulullah Saw. melarang menyiksa dengan siksaan Allah (membakar), namun aku tetap membunuhnya karena Rasulullah bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah).” Hadis yang sering kali dijadikan sumber utama larangan murtad oleh fuqahâ ini menurut Jammâl al- Bannâ memiliki kecacatan ganda, yaitu cacat dari sisi sanad dan matan. Dari sisi sanad hadis ini dengan beragam riwayatnya semuanya kembali kepada Ikrimah, padahal Ikrimah sendiri sebagaimana yang dikatakan Imam Muslim (penulis kitab Shahîh Muslim) tidak pernah meriwayatkan hadis satupun kecuali satu hadis tentang haji, dan itupun riwayatnya ditopang oleh Sa’îd bin Jabîr. Bahkan menurut penulis kitab al-Hadîts wa al- Muhadditsûn, Muhammad Abû Zahw (pakar fikih yang dikenal sangat wira’i), hadis riwayat ‘Ikrimah tidak boleh dijadikan sumber hukum karena ‘Ikrimah dikenal sering berbohong, berpikiran seperti Khawârij dan sering menerima pemberian dari pemimpin yang korup. Sedangkan dari sisi matan, hadis di atas juga memuat beberapa keganjilan, antara lain hadis tersebut mengandung kata “orang-orang zindiq (Zanâdiqah)”, padahal pada masa al-khilâfah al-râsyidah istilah ini belum dikenal. Begitu juga informasi bahwa sahabat Ali membakar orang-orang zindiq sementara nabi Saw. sendiri melarang pembunuhan dengan cara membakar. Sungguh sangat tidak mungkin sahabat Ali tidak mengetahui larangan nabi Saw. tersebut, padahal Ibnu Abbâs mengetahuinya. Di samping itu kandungan arti “Man baddala dînahû faqtulûh” juga sangat umum, yakni tidak terkhusus bagi orang yang awalnya beragama Islam kemudian berpindah ke agama lain, tapi mencakup orang yang asalnya beragama Kristen, Yahudi, dan yang lainnya. Sebab kandungan arti yang sangat umum ini hadis di atas maknanya menjadi kabur sehingga tidak dapat dijadikan kaki pijak referensial, bagaimana mungkin agama Islam melarang orang Yahudi atau Nashrani berpindah ke agama Islam? Keempat, hadis yang menginformasikan bahwa lelaki yang murtad harus dipenggal lehernya, sedangkan apabila yang murtad perempuan maka diperintah untuk segera kembali ke agama Islam terlebih dahulu, jika ternyata masih tetap berada di dalam kekufurannya maka ia pun harus dipenggal lehernya. Hadis ini juga memiliki riwayat dan kandungan arti yang beragam, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Mu’âd berbunyi: “Ayyumâ rajulin irtadda ‘anil Islâm fad’uhu fa in ‘âda fadlrib ‘unuqahu, wa ayyumâ imra`atin irtaddat ‘anil Islâm fad’uhâ fa in ‘âdat wa illâ fadlrib ‘unuqahâ (Apabila ada seorang lelaki keluar dari Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia kembali (ke dalam agama Islam) maka pukullah lehernya. Apabila seorang perempuan keluar dari Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia kembali maka biarkanlah, namun apabila tidak mau maka pukullah lehernya).” Hadis lainnya adalah: “Ayyumâ rajulin irtadda ‘anil Islâm fad’uhu fa in tâba faqbal minhu, wa in lam yatub fadlrib ‘unuqahu. Wa ayyumâ imra`atin irtaddat ‘anil Islâm fad’uhâ fa in tâbat faqbal minhâ wa in abat fastatibhâ (Apabila seorang lelaki keluar dari agama Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia bertaubat maka terimalah taubatnya, namun apabila tidak bertaubat maka pukullah lehernya. Apabila seorang perempuan keluar dari agama Islam maka ajaklah dia (untuk kembali masuk ke dalam agama Islam), apabila dia bertaubat maka terimalah taubatnya, apabila tidak mau bertaubat maka perintahlah dia untuk bertaubat).” Melalui kedua contoh hadis di atas terlihat bahwa hadis tersebut dari sisi kandungan artinya memiliki perbedaan yang cukup tajam, hadis pertama mengandung arti perintah membunuh terhadap perempuan yang keluar dari Islam dan tidak mau kembali ke agama ini, sementara hadis kedua perempuan yang tidak mau kembali ke agama Islam setelah ia murtad hanya diperintahkan untuk bertaubat. Dalam kitab Fath al-Bârî Ibn Hajar menyatakan bahwa hadis ini saling bertentangan sehingga perlu dikompromikan, namun mendamaikan kedua hadis ini tidak mungkin tergapai karena dari sisi sanad hadis ini rapuh, yakni terdapat nama Muhammad bin Abdillah al-‘Irzamî, salah seorang rawi hadis yang riwayatnya tidak dapat dipakai (matrûk min al- sâdisah). Dari hadis-hadis yang secara kualitas tidak dapat dijadikan sebagai kaki pijak hukum seperti di atas, fuqahâ` memaksakan diri untuk merumuskan konsep murtad yang saat itu hanya bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam yang sedang terancam badai perpecahan akibat pergolakan politik pada babak akhir Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah. Sebagai usaha meyakinkan umat Islam saat itu fuqahâ tidak hanya membuat konsep murtad dan hukumannya semata, tapi beberapa ajaran Islam yang sebenarnya “produk ijtihad” mereka sendiri namun rentan tidak dipercayai oleh umat Islam saat itu diberi label “Ma’lûm min al-dîn bi al- dlarûrah (ajaran yang dapat diketahui secara pasti),” dan bagi yang tidak percaya maka dinyatakan keluar dari agama Islam. Oleh karena itu dalam lembaran-lembaran kitab klasik biasanya setelah membahas penyebab riddah, baik yang berupa tindakan, ucapan, maupun keyakinan, fuqahâ` menutupnya dengan kalimat “Man jahada Ma’lûmân minad dîn bidl dlarûrah fa qad kafara (barangsiapa yang mengingkari ajaran yang diketahui secara pasti dari agama maka ia kufur).” Rekonstruksi Sumber Hukum Fikih Kebebasan Beragama Jika sumber hukum yang dijadikan kaki pijak referensial oleh para fuqahâ` masa lalu demikian halnya, haruskah produk hukum tersebut dipertahankan? Haruskah kita menutup mata terhadap sumber hukum yang lebih otoritatif? jawaban yang mengemuka pasti “tidak”. Oleh karena itu sumber hukum fikih yang selama ini terkesan ekslusif dan tidak mengakui keabsahan kebebasan beragama harus segera dibangun ulang dengan cara mengembalikan permasalahan ini kepada sikap nabi Muhammad Saw. dalam menghadapi orang-orang yang berpindah agama (murtad). Hadis tentang hal ini sangat banyak jumlahnya, antara lain hadis yang menginformasikan bahwa pada masa nabi Saw. terdapat sekelompok muslim yang berjumlah 12 orang keluar dari agama Islam, di antaranya adalah al-Hârits bin Suwaid al-Anshârî. Terhadap 12 orang ini Rasulullah Saw. tidak menghalalkan darahnya, beliau menghadapi persoalan tersebut dengan mencukupkan diri pada kandungan QS. 3:85 yang berbunyi: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Diriwayatkan bahwa Ubaidillah bin Jahsy, salah seorang sahabat nabi Muhammad Saw. yang pernah menemaninya hijrah ke tanah Habsyah juga pernah berpindah agama, dari Islam ke Kristen, dan rasulullah tidak melarang, tidak menghalalkan darahnya, dan tidak meminta kepada tokoh umat kristiani saat itu (orang Najâsyî) untuk menyerahkan Ubaidillah kepada nabi Saw. Diceritakan pula pada suatu hari terdapat salah seorang sahabat mengadu kepada nabi Saw. bahwa kedua anaknya yang sudah beragama Islam berpindah ke agama Kristen, sahabat tersebut berkata kepada nabi Saw: “Ya Rasul ajaklah kedua anakku, mereka akan masuk ke dalam Neraka.” Jawaban yang keluar dari rasulullah Saw. bukan perintah untuk membunuh atau membawa keduanya ke hadapan rasul agar rasul dapat membunuhnya, melainkan penggalan QS. 2:256 yang berbunyi “Lâ ikrâha fiddîn qadd tabayyan al-rusyd min al-ghay (Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam], sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat). ”( Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al- Fikr wa al-I’tiqâd fî al-Islâm, Dâr al- Fikr al-Islâmî: Kairo, tt. hal. 22-23). Melalui hadis-hadis ini dapat diketahui bahwa nabi Muhammad Saw. tidak pernah menghukum orang yang sudah beragama Islam dan kemudian keluar (murtad), juga tidak pernah memerintahkan sahabatnya untuk membunuh orang murtad. Dengan demikian nabi Saw. sangat membebaskan manusia dalam memilih agama, baik bagi yang belum beragama sama sekali maupun bagi yang sudah menganut agama tertentu namun mengambil langkah berpindah ke agama lain atau bahkan tidak beragama sama sekali. Sikap toleransi agung yang dilakukan nabi Muhammad Saw. ini berdasarkan penegasan dari Allah bahwa setiap individu dipersilahkan memilih agama yang ia sukai atau tidak memilih sama sekali (QS. 2:256, QS. 10:108, QS. 17:15, QS. 18:29, QS. 27:93, QS. 30:44, QS. 35:39, QS. 39:49.), nabi Muhammad Saw. hanya diberi tugas sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, beliau tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya (QS. 5:99, QS. 7:188, QS. 10:41, QS. 11:12, QS. 13:40, QS. 15:94, QS. 16:82, QS. 25:56-58, QS. 50:45, QS. 51:52-55, QS. 42:6, QS. 80:5-7, QS. 88:21-22.), memberikan hidayah kepada manusia hanya menjadi hak Tuhan, bukan manusia (QS. 2:272, QS. 4:88, QS. 10:99-100, QS. 28:56, QS. 35:8). *Peneliti Muda di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.
Label:
FilSuf