Rekonstruksi Kesalehan
Pembantaian dan pembakaran di Sampang, Madura baru-baru ini sebenarnya bukan masalah baru. Untuk kesekian kalinya, masyarakat kita terjebak pada satu penyakit sosial yang akut, yakni tidak mampu hidup bersama di dalam keberagaman. Namun, sikap biadab itu tidaklah melulu berakar pada kejahatan manusia, melainkan pada niatnya untuk menjadi saleh. Orang-orang yang menyiksa, membunuh, dan membakar atas nama agama justru adalah orang-orang yang bercita-cita untuk menjadi orang saleh. Paradoks Kesalehan Dari kecil, kita diajarkan untuk menjadi orang-orang yang saleh. Kata saleh sendiri, di Indonesia, disamakan dengan kesalehan agama-agama. Setiap agama memiliki versi kesalehannya sendiri, yang seringkali tidak cocok dengan agama lainnya. Pada titik inilah masalahnya muncul; orang-orang saleh religius dikutuk untuk tidak bisa hidup bersama, karena mereka terperangkap dalam versi kesalehannya masing-masing. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata saleh diartikan sebagai beriman dan rajin beribadah. Kata beriman dan rajin beribadah mengandaikan ikatan pada tradisi religius tertentu. Dan setiap tradisi religius, agama, memiliki sikap tertutupnya masing-masing, terutama untuk mempertahankan keunikan ciri identitasnya. Pada titik ini, kita juga menemukan paradoks; semakin orang saleh dalam satu agama, semakin ia sulit untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda, maka semakin ia tidak saleh. Saya menyebutnya sebagai paradoks kesalehan, yakni semakin orang saleh, maka ia semakin kehilangan kesalehannya. Masalah ini semakin terasa, ketika kita hidup di dalam masyarakat multikultur. Dalam arti ini, kultur adalah bentuk-bentuk cara hidup, dan multikultur berarti ada banyak bentuk-bentuk cara hidup yang tersebar di dalam suatu masyarakat. Di dalam suatu masyarakat dengan beragam bentuk- bentuk cara hidup, orang-orang saleh akan sulit untuk menjadi “saleh”. Keberagaman Nyatanya, Indonesia adalah suatu bentuk masyarakat multikultur. Ada begitu banyak ragam cara hidup tersebar di Indonesia. Beragam cara hidup itu melingkupi beragam cara beragama, pilihan ideologi, selera, orientasi seksual, ras, suku, etnis, dan sebagainya. Ketidakmampuan untuk mentransendensi sikap saleh, yang seringkali khas dan eksklusif agama tertentu, justru akan bermuara pada penindasan atas orang-orang dengan bentuk-bentuk cara hidup yang berbeda. Sikap saleh yang naif dan tidak berpikir akan bermuara tidak pada kebaikan, melainkan sebaliknya, yakni pada kebengisan itu sendiri. Satu-satunya cara untuk menciptakan hidup yang bermutu di masyarakat multikultur adalah dengan menjadi pribadi rileks dan moderat. Menjadi rileks berarti siap untuk tidak ngotot memperjuangkan apa yang benar menurut diri sendiri. Menjadi moderat berarti siap untuk menertawakan sikap-sikap ngotot yang tersebar di masyarakat, tanpa jatuh dalam sikap penghinaan. Sikap rileks dan moderat inilah yang, pada hemat saya, kurang tertanam di benak orang-orang Indonesia. Kutukan dari orang-orang saleh adalah mereka justru akan menjadi bengis dan kejam, ketika sedang berusaha menjadi orang yang saleh. Satu-satunya cara untuk menghindari pola gelap semacam itu adalah dengan menjadi rileks dan moderat. Menjadi rileks dan moderat, dalam konteks ini, berarti siap melihat ironi dan komedi yang tersembunyi di balik sikap ngotot, yang seringkali ditunjukkan oleh orang-orang saleh. Namun, bagaimana caranya untuk menjadi orang yang rileks dan moderat di tengah masyarakat multikultur, seperti Indonesia, sekarang ini? Menjadi Rileks dan Moderat Untuk bisa menjadi pribadi yang rileks dan moderat, kita perlu setitik relativisme dalam hidup. Berbeda dengan banyak orang di Indonesia, yang begitu terpesona akan kepastian, relativisme mengajarkan, bahwa hal- hal yang kita anggap mutlak di dalam dunia ini sebenarnya relatif, dalam arti tergantung pada konteks tempat, waktu, budaya, dan orangnya. Setitik relativisme baik untuk kesehatan jiwa, dan, tentu saja, kesehatan masyarakat itu sendiri. Di tengah masyarakat yang begitu kaku dan terpesona pada kesalehan moral agama-agama, kesadaran akan perspektivisme baik untuk diperkenalkan. Dalam arti ini, perspektivisme adalah paham yang menyatakan, bahwa kebenaran di dunia manusia yang sementara dan cacat ini amat bergantung pada perspektif orang yang melihat. Perspektif adalah sudut pandang, dan sudut pandang setiap orang berbeda- beda satu sama lain, walaupun tetap bisa ditemukan irisan di antaranya. Kesalehan tradisional religius, di dalam masyarakat multikultur, haruslah ditinggalkan. Yang kita perlukan kemudian adalah kesalehan 2.0, yakni kesalehan moral yang disertai dengan ciri rileks, moderat, dan relativisme. Kesalehan 2.0 ini, pada hemat saya, adalah salah satu keutamaan yang harus dipunyai setiap orang, supaya bisa hidup harmonis di dalam masyarakat multikultur, seperti Indonesia. Bagaimana menjelaskan kesalehan 2.0 ini? Kesalehan 2.0 Kesalehan 2.0 bersikap rileks di hadapan segala kemutlakkan dunia. Ia tidak menjadi pasrah dan menyerah, melainkan berjuang tanpa sikap ngotot yang seringkali bermuara pada kebengisan. Saleh 2.0 bukanlah fatalisme, yakni paham yang menyatakan, bahwa kita harus menyerah dan pasrah pada takdir serta gerak dunia, melainkan sebaliknya, yakni tetap berjuang untuk sebuah nilai, namun dengan sikap terbuka, dan dengan sedikit humor. Dalam arti ini, orang-orang saleh 2.0 berhasil melampaui kesempitan berpikir orang-orang saleh tradisional- religius sebelumnya. Mereka mencari dan menemukan tujuan yang lebih tinggi, yang berhasil melampaui tata nilai eksklusif agama-agama kuno. Mereka bukanlah orang-orang dangkal, melainkan sebaliknya, mereka menjalankan hidup yang bermakna, dengan tujuan yang jelas dan layak untuk diperjuangkan, serta sehat jiwanya. Orang-orang saleh 2.0 terhindari dari kutukan orang-orang saleh, karena mereka bersikap rileks dan moderat. Orang-orang Indonesia harus mulai melampaui niat kesalehan tradisionalnya, dan memeluk kesalehan 2.0 ini, karena ini adalah keutamaan yang membuat kita di Indonesia, sebagai masyarakat multikultur, bisa hidup bersama dalam perdamaian. Hanya dengan begitu, kita bisa sedikit menjamin, bahwa hal-hal traumatif dan negatif, seperti di Sampang kemarin, tidak terjadi lagi di masa depan.