AHAD pagi yang cerah, bunga matahari di pekarangan rumah berdiri dengan megah dan mekarnya menambah keindahan hari. Hari dimana para pekerja kantoran, PNS, ataupun anak sekolah bersantai ria tanpa harus memikirkan tugas kantor atau PR yang membuat stress.
Ahad biasanya digunakan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Meninggalkan rutinitas yang padat enam hari ke belakang, apalagi jika cuaca di luar semakin mendukung. Hmm.. surga dunia.
Langit biru dengan paduan awan putih menambah semarak hari libur ini. Belum lagi dengan kicauan burung yang terdengar mengalun merdu, yang hinggap di pepohonan hijau nan rindang. Pantas saja jika tempat ini menjadi tempat favorit untuk sekedar bersepeda atau duduk di bawah pohon. Sambil mendengarkan alunan musik lewat earphone yang sengaja dibawa untuk temani pagi yang cerah.
Ineu sengaja datang ke kedai es krim, tak jauh dari komplek perumahan elit di seberang jalan. Ia ingin sekali menyantap es krim kegemarannya, rasa vanilla blue. Pintu kedai itu unik, dirancang menyerupai corong es krim berwarna pink mencolok. Dengan taburan kismis dan saus coklat diatasnya, sangat menggugah selera.
Setelah masuk ke dalam, meja dan kursi pun dihias dengan gambar es krim berbagai rasa. Tak ketinggalan, pelayan pun memakai topi yang lucu berbentuk corong es krim berwarna hijau terang.
“Silahkan de, mau pesan yang mana?” sambut pelayan wanita sambil menyodorkan daftar menu yang dibawanya.
“Hmm, kalau yang ini berapa harganya?” Ineu menunjuk gambar es krim rasa vanilla blue dengan taburan kacang dan saus strawberry diatasnya.
“Lima puluh ribu de,” jelas pelayan.
Gadis berumur 11 tahun itu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan uang receh. “Kalau tidak pakai kacang berapa?” tanya Ineu.
“Dua puluh lima ribu!” jawab pelayan itu dengan nada agak tinggi. Sejak awal dia sudah tidak yakin dengan anak yang di hadapannya. Anak ini tidak akan mampu membeli es krim seharga lima puluh ribu.
Pelayan itu kemudian memandang Ineu sinis dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambut berantakan, kaos kebesaran, celana yang sakunya juga robek, dan sepasang sandal jepit yang hampir putus membuat pelayan tidak yakin jika Ineu mampu membeli es krim di tempat ini.
“Kalau tidak pakai saus strawberry jadi berapa?” tanya Ineu lagi kepada pelayan.
“Lima belas ribu!!” jawab pelayan, kali ini dengan suara yang tinggi dan terdengar geram.
Ineu kembali melihat uang receh yang masih berada dalam genggaman. Ia menghitungnya, ternyata hanya ada sepuluh ribu. “Kalau belinya setengah porsi, tanpa kacang dan saus strawberry berapa?”
“Jadi sepuluh ribu!! Kalau kamu tidak mampu membeli tidak usah memakasakan diri lah. Mending sekarang kamu pulang terus mandi, pergi sana!!” jawab si pelayan.
Ineu hanya tersenyum, sambil menyodorkan uang recehan berjumlah sepuluh ribu. “Aku pesan setengah porsi saja tanpa kacang dan saus strawberry.”
Pelayan itu dengan terpaksa menerima uang recehan yang harus dihitungnya kembali. Sambil berlalu menuju ruang pesanan yang terletak di bagian belakang kedai. Setelah satu menit menunggu, akhirnya pesanan Ineu datang juga. Ineu tersenyum bahagia menyambut es krim vanilla blue yang akan menjadi miliknya.
“Terima kasih dan ini tip untuk mba,” sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribu diatas baki yang dibawa pelayan. Ineu melenggang pergi tanpa melihat ekspresi pelayan yang bengong.
Pelayan itu diam seribu bahasa, ia merasa malu karena telah berprasangka buruk kepada Ineu. Dan yang lebih mengagetkannya lagi ketika ayah Ineu datang menghampiri dengan menggunakan mobil mewah keluaran terbaru, dan hanya dimiliki beberapa orang saja di dunia.
Ia juga terkejut saat temannya yang lain memberitahu bahwa tuan toko itu adalah ayah Ineu. Yah, memang dia baru beberapa minggu bekerja disana. Padahal memang Ineu sengaja berpenampilan seperti itu karena ia akan berlatih drama bersama teman-temannya, yang akan dipentaskan sekolah pekan depan.
Dari sepenggal cerita diatas, kita dapat mengambil sebuah pelajaran. Kita tidak boleh menilai orang hanya dari luarnya saja. Kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. Karena Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia dari warna kulit, ras ataupun status. Tapi yang membedakannya hanya dari kadar ketaqwaan saja.
Seperti dalam ayat,
“Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat:13).
Sebenarnya sikap pelayan tadi bisa dikatakan sebagai sikap diskriminasi. Dan pada jaman dahulu, praktik diskriminasi itu sudah ada. Contohnya saja praktik perbudakan. Seiring kedatangan Islam, perbudakan mulai dihapus, hal ini dicontohkan Rasulullah saw., saat memerdekakan Bilal bin Rabah. Mengangkat budak hitam legam ini menjadi muadzin dan salah satu sahabat kepercayaannya.