Jika memang bahasa Arab menjadi bahasa satu-satunya untuk alQur’an dan bahasa Latin untuk Alkitab (di samping Yunani dan Ibrani), maka sebenarnya kedua umat beragama yang berbeda itu masih mempunyai cara pandang yang lain lagi untuk mengetahui bagaimana kedua agama tersebut lahir.
Dalam pembahasan mengenai riwayat kitab suci, dunia akan mengenal bahasa Pali sebagai bahasa kitab suci Buddha, bahasa Sansekerta untuk agama Hindu, bahasa Ibrani Kuno untuk Yahudi, Latin untuk kitab suci Nasrani, dan terakhir bahasa Arab untuk Alqur’an bagi Islam. Melalui pengamatan kebahasaan, dapat dipastikan bahwa kesemua bahasa tersebut dianggap sebagai bahasa yang telah mati, sebagai bahasa yang tidak ada lagi satu komunitas manusia yang menuturkan bahasa tersebut. Sungguh, tidak ada lagi komunitas manusia awam yang secara luas berbahasa dengan menuturkan bahwa Latin, mau pun Pali, Sansekerta dan Ibrani Kuno. Pun bahasa Arab yang digunakan dalam Alqur’an, diyakini sebagai satu elemen bahasa yang sekarang telah tidak ada lagi manusia Arab yang menggunakannya.
1. Kristen.
Kristen mengakui, bahwa di samping bahasa Pali, Sansekerta, mau pun Ibrani Kuno, maka Latin ditegaskan sebagai bahasa yang telah tidak ada lagi yang menggunakannya. Pada masa turunnya semua kitab suci tersebut, kesemua bahasa agama itu adalah suatu bahasa yang aktif digunakan oleh semua komunitas manusia, secara luas, baik pada kalangan agamawan, usahawan, jelata, mau pun bangsawan. Bahkan para orang suci pun yang sebenarnya adalah pendiri semua agama tersebut diberitakan sebagai mereka yang tetap menggunakan bahasa tersebut sebagai media mereka untuk meluaskan kebajikan ruhani.
Kristen tidak terkecuali dari sistem dan mekanisme tersebut. Bahasa Ibrani Kuno merupakan bahasa yang secara luas digunakan baik oleh semua pendeta Yahudi mau pun oleh Almasih sendiri yang dianggap sebagai pendiri agama Nasrani, pun tidak terkecuali digunakan juga oleh mereka para awam, jelata, pedagang, sastrawan dan para politikus. Jika kemudian Nasrani lebih dikembangkan dengan menggunakan bahasa Latin, maka Latin juga merupakan bahasa yang tidak pernah lepas dari mekanisme bahasa masyarakat manusia tersebut.
Namun bahasa Latin tersebut telah dinyatakan sebagai satu bahasa dunia yang telah mati. Hanya kalangan tertentu yang tetap menggunakan bahasa tersebut yaitu kalangan profesi, di kalangan gereja mau pun Ilmu Pengetahuan yang cakupannya tidak begitu luas. Latin kemudian diidentikkan dengan gereja. Latin diidentikkan dengan kesalehan Kristiani walau pun sebenarnya hal itu tidak dapat menggagalkan kenyataan bahwa pada masa bahasa tersebut luas digunakan oleh semua penutur aslinya, bahasa itu tidak pernah mempunyai konotasi seperti tersebut: bahasa tersebut tetap digunakan oleh mereka yang anti Tuhan, oleh mereka yang anti kesalehan ruhani.
2. Islam.
Adalah tidak aman untuk menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Alqur’an pun tidak terkecuali dari mekanisme bahasa kitab-suci yang umum berlaku tersebut (yaitu bahwa bahasa yang digunakan dalam Alqur’an, dewasa ini telah menjadi ‘bahasa mati’), dan ketidak-amanan itu didukung oleh beberapa hal yang mensuplai informasi yang berbeda bagi bahasa apa yang digunakan Alqur’an. Walau pun begitu adalah memang benar bahwa bahasa yang digunakan dalam Alqur’an adalah suatu bahasa yang tidak ada lagi masyarakat manusia yang menggunakannya secara luas, kecuali secara amat terbatas.
Pun untuk masa sekarang ini tidak ada satu manusia pun yang bertutur dengan bahasa Alqur’an walau pun ia adalah orang Islam mau pun amat memahami bahasa Alqur’an tersebut, mau pun mereka adalah berasal dari kalangan profesi, yaitu profesi pengajaran agama Islam. Bahasa yang digunakan oleh Alqur’an sama sekali tidak bisa digunakan mau pun dianggap sebagai bahasa kesalehan karena sejatinya tidak ada elit Islam yang sanggup untuk menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari mereka bagi kalangan internal profesi mereka.
Tidak ada satu pun manusia yang dapat bertutur dengan menggunakan bahasa Alqur’an karena itu adalah bahasa Tuhan semata. Berbeda dengan bahasa Latin mau pun bahasa kitab suci lainnya. Kalangan elit mereka selalu dapat menggunakan bahasa yang digunakan dalam kitab suci mereka secara fasih dan sempurna. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak ada celah yang memisahkan antara kemampuan mereka untuk melisankan bahasa kitab suci tersebut dengan bagaimana ketinggian dan keumuman bahasa yang ada pada kitab suci tersebut dalam hal pembahasaannya: bahasa mereka adalah bahasa kitab suci mereka juga.
a. Tradisi Sastrawi Mekkah.
Setidaknya sejarah masyarakat Arab melukiskan satu hal pada masa diturunkannya Alqur’an tersebut: sungguh, masyarakat Mekkah mempunyai tradisi tahunan yang kelak akan berhubungan erat dengan bagaimana Alqur’an itu dicatat. Biar bagaimana pun gaya hidup nomaden yang sebenarnya tidak mempunyai kebudayaan visual (benda-benda), jelas akan menandakan semua citarasa mereka ke dalam bentuk-bentuk kebudayaan non visual (seperti suara, sastra, seni musik).
Bagi mereka sastra adalah hal yang amat penting. Mekkah (dan semua Arab pada umumnya) merasa perlu untuk mengerahkah ahli sastra mereka untuk memastikan bahwa semua citarasa mereka akan keindahan dan kemanusiaan yang berseri-seri selalu dapat dipresentasikan dan direpresentasikan kepada semua masyarakat Arab secara utuh dan kuat. Hal ini dimaksudkan karena masyarakat Arab tidak mempunyai pilihan untuk mengembangkan kebudayaan visual untuk tujuan-tujuan tersebut. Mereka amat menghargai keterkaitan antara kelangsungan kehidupan mereka sebagai bangsa dengan pesan-pesan yang mereka dapatkan dari leluhur mereka. Dan untuk itu mereka menggariskan bahwa suatu sistem yang akan melindungi ‘item-item’ kebudayaan tersebut harus mereka klaim dan tetap menjadi milik mereka secara utuh dan permanent.
Jika kebudayaan visual tidak menyediakan mereka kemungkinan tersebut, maka kebudayaan non visual akan dianggap yang paling penting yang mendukung cita-cita tersebut: tradisi tahunan akan mempersibuk semua aktivitas yang berlangsung di tengah kota Mekkah dengan hanya satu agenda yang amat penting: menemukan satu lembaran syair yang paling mewah dari semua kontestan dan kemudian mereka hanya mempunyai satu cara untuk menghargainya: menempelkan lembaran tersebut pada dinding Ka’bah untuk satu tahun lamanya.
Bagi mereka yang lembarannya ditahbiskan sebagai pemenang, ditempelkannya lembaran mereka pada dinding Ka’bah akan menjadi pengalaman yang amat berarti. Kepahlawanan mereka selalu bermula dari bagaimana cara mereka melukiskan kembali keagungan leluhur mereka dengan semua ajaran yang tinggi dan bijak pada pekerjaan-pekerjaan (dan penghargaan atas fungsi) sastra mereka.
Namun sesuatu yang hebat terjadi atas tradisi tersebut sejak Muhammad Saw menyatakan dirinya sebagai orang yang membawa kitab suci Alqur’an. Walau pun Alqur’an hanya ditujukan kepada kalangan tertentu dalam internal pengikut Muhammad Saw pada masa-masa awalnya turunnya Islam, namun pembacaan ayat-ayat Alqur’an oleh mereka para pengikut Muhammad Saw di hadapan semua warga Mekkah tidak dapat dihindari sama sekali: pada kenyataannya ini akan berarti terkonfrontirkannya kebiasaan-kebiasaan sastrawi mereka yang selalu mereka agung-agungkan dengan betapa Alqur’an adalah di atas segala-galanya.
Muhammad Saw telah mengalahkan dinding-dinding Ka’bah. Segera Mekkah melihat, walau pun amat diragukan, bahwa Muhammad Saw sedang memulai sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh oleh siapa pun. Hal ini pun hanya bisa dilihat dari betapa tidak ada lagi para pemuka penyair yang berani untuk menampilkan lembaran-lembaran mereka pada dinding Ka’bah. Tidak ada seorang lelaki yang mempunyai keberanian untuk memulai suatu opini yang sama sekali baru dan asing bagi Mekkah namun kenyataannya amat kuat: dinding Ka’bah segera menjadi milik Muhammad Saw dengan ayat-ayat Alqur’an tersebut.
Pada kenyataannya dimulainya serangkaian pewahyuan Firman Tuhan kepada Muhammad Saw berarti sesuatu yang lain bagi tradisi Mekkah tersebut. Keberanian Muhammad Saw atas sokongan Tuhan untuk memperdengarkan ayat-ayat Alqur’an menjadi resiko tersendiri yang akan memastikan bahwa tradisi Mekkah tersebut sebenarnya dapat dihentikan oleh sesuatu: walau pun tradisi Mekkah itu selalu dipandang perlu sebagai institusi mendasar bagi kelangsungan peri kebudayaan mereka, namun di pihak lain, sungguh pengaruh dan daya sastrawi Alqur’an amat tidak terpermanai.
Perubahan yang cepat terjadi (dikalahkannya semua sastrawi pedalaman Arab oleh Alqur’an) atas dasar pengalihan cakupan Alqur’an dari yang bersifat ekslusif semata yang hanya untuk kalangan pengikut Muhammad Saw kepada range yang lebih luas lagi untuk seluruh warga Mekkah, dianggap sebagai reaksi spontanitas pertama Mekkah atas turunnya Alqur’an tersebut. Dan jika Muhammad Saw sendiri menganggap itu sebagai sesuatu yang terlalu cepat terjadi, maka Tuhan tidak menganggapnya demikian.
Kata kunci dari serangkaian kejadian ini mengarah kepada satu hal yang amat jelas dan luar biasa: seberapa pun tingginya keagungan dan kemewahan sastrawi penduduk Arab kala itu, Alqur’an tidak mempunyai masalah sedikit pun untuk mengatasinya. Akhirnya, suatu ketinggian (divine) yang sebenarnya, berdasarkan tradisi sosiologis, hanya didasarkan pada penilaian subjektif, untuk pertama kalinya ditentukan oleh proses penilaian secara objektif: biasanya keagungan suatu kitab suci (something divine) hanya diakui dan dinilai oleh penganutnya sendiri, terlebih oleh dewanya sendiri dalam agama tersebut.
Namun kenyataannya masyarakat Arab membuat pengecualian terhadap Alqur’an: keagungannya ditentukan oleh proses interaksi social yang amat spektakuler; keagungan Alqur’an ditentukan oleh proses objektif. Dengan sederhana dapat dikatakan, tidak seperti keagungan kitab-suci atau dewa-dewa dalam agama lain (selain Islam) yang keagungannya tidak lebih hanya merupakan klaim subjektif dari penganutnya sendiri, maka keagungan dan keluarbiasaan Alqur’an justru ditentukan oleh mereka yang berada di luar Islam, atau bahkan oleh mereka yang menentang Islam.
Sungguh, keguncangan masyarakat Arab kala itu yang berakhir dengan ditahbiskannya ayat-ayat Alqur’an sebagai item sastra terbaik, menegaskan dengan satu cara bahwa Alqur’an memang berasal dari Tuhan. Terlebih, keguncangan ini terjadi pada masyarakat Arab, yang notabene adalah pemuja kehidupan sastrawi terbesar di dunia. Adanya tradisi sastra Mekkah sebenarnya telah menunjukkan, bahwa nilai sastra mereka berada di atas segala bangsa di dunia: bagi Arab, sastra adalah satu-satunya pilihan yang mendapatkan perhatian dan pendalaman yang lebih. Kemudian, jika kemudian kehidupan sastrawi mereka dapat dikalahkan oleh Alqur’an ‘begitu saja’, maka mau tak mau itu akan berarti bahwa Alqur’an bukanlah produk individu Arab mana pun.
Sejarah terkalahkannya semua kemewahan sastrawi semua umat manusia oleh suatu kitab Tuhan sebenarnya hanya terjadi atas Alqur’an. Sebenarnya hal itu menjadi bukti yang paling dicari semua warga Iman mana pun untuk mengetahui bahwa kitab suci mereka memang berasal dari Tuhan. Elemen yang ada di dalam sistem suatu kepercayaan / agama membutuhkan satu hal untuk menjadi satu-satunya penguat legitimasi kitab sucinya: terjadinya penumpasan kekuatan sastra umat manusia oleh kekuatan sastra kitab suci tersebut untuk menegaskan bahwa kitab suci tersebut memang berasal dari Tuhan; tidak bisa tidak. Dan jika semua kitab suci tidak pernah melakukannya, maka di pihak lain Alqur’an telah berhasil melakukannya: Alqur’an telah berhasil menempatkan kepercayaan semua umat manusia kepada Alqur’an pada tempat yang aman; karena sastra Tuhan tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan sastrawi dunia.
Secara dramatis dicatat, bahwa Alkitab sebagai kitab suci Nasrani tidak mempunyai kekuatan legitimasi tersebut; ia adalah sepenuhnya ciptaan manusia belaka mengingat tidak pernah adanya kekuatan sastra manusia di bumi yang telah berhasil dikalahkannya. Ini penting sebenarnya bagi Alkitab, namun Alkitab sendiri tidak mendapatkannya. Amannya kepercayaan individu mana pun terhadap Alkitab sebagai kitab Tuhan, berada dalam pertanyaan yang amat pelik.
b. Mekanisme Dikhotomi Alqur’an dan Alhadits.
Nabi Muhammad Saw bertitah kepada para pengikutnya yang setia: “Janganlah kamu tuliskan semua ‘perkataan-perkataanku’ (dunia Islam menyebutnya dengan Alhadits) karena aku khawatir akan tercampur dengan ayat-ayat Alqur’an….”.
Titah Nabi Besar itu adalah satu di antara sedikit titah beliau yang dilanggar oleh kaum Muslim di seluruh dunia sejak pada masa-masa awalnya. Beberapa tahun setelah wafatnya sang Rasul, kaum Muslim bersepakat untuk menuliskan (mencatatkan) semua perkataan Rasul tersebut di atas media yang mungkin kala itu kendati mereka tetap ingat bahwa hal tersebut justru merupakan satu hal yang amat dilarang oleh sang Nabi.
Kaum Muslim kala itu berangkat pada suatu pemikiran bahwa mereka yang selalu menyertai Rasul dalam tugas-tugas kerasulannya satu per satu meninggal dunia sementara di pihak lain semua perkataan Rasul (yang terpelihara dalam memori mereka) tersebut biar bagaimana pun adalah warisan Iman yang tidak akan tergantikan oleh apa pun di dunia ini. Biar bagaimana pun mempercepat usaha pencatatan (inventarisasi) semua perkataan Rasul adalah suatu keharusan, atau dunia Islam akan menghadapi bencana yang luar biasa. Tak dapat disangkal lagi, bahwa keberadaan para Shahabat Rasul tersebut dengan semua memori mereka tentang perkataan Rasul adalah harapan terakhir bagi dunia Islam.
Dilakukannya pencatatan atas semua perkataan Rasul melalui lisan para shahabat ternyata menjadi perkembangan yang amat dominan dalam Islam. Melalui proses ini terlahir suatu cabang Ilmu dalam Islam yang amat menentukan keabsahan Islam itu sendiri di depan semua dunia: Ilmu Hadist. Pencatatan yang rapi atas semua perkatan Rasul menjadi satu-satunya institusi yang menghubungankan antara kisah kehidupan Rasulullah dengan semua umat Muslim dalam menjalankan peri kehidupan agamanya. Alih-alih mencatat semua perkataan Muhammad Saw akan menimbulkan implikasi negatif (seperti yang disinyalir dan dikhawatirkan oleh Muhammad Saw sendiri), justru semua ajaran Rasul menjadi lebih tegas dan sistematis melalui pencatatan Alhadits tersebut.
Namun kemudian yang lebih harus dibicarakan adalah mengapa Muhammad Saw mendapatkan ketakutan yang luar biasa jika semua perkataannya di depan semua shahabatnya itu ditulis dan kemudian disimpan –di kemudian hari. Yang lebih jelas lagi adalah bahwa ternyata semua umat Islam di dunia tidak pernah mempunyai kasus di mana tertukarnya antara ayat-ayat Alqur’an dengan statement-statement beliau sendiri, Alhadits.
Secara segi kebahasaan, sebenarnya semua Muslim khususnya akan dengan mudahnya dapat mengetahui jika sesuatu adalah ayat Alqur’an mau pun sebaliknya, Alhadits. Semua umat Muslim tidak pernah merasa terpengaruh oleh ketakutan Rasul tersebut ketika mencatatkan semua perkataan beliau karena beberapa hal telah menjadi penanda yang amat jelas antara ayat Alqur’an dengan statement beliau sendiri. Biar bagaimana pun semua umat Muslim mengetahui ‘ada sesuatu’ yang ada dalam Alhadits, dan kemudian mengetahui juga ‘ada sesuatu yang lain’ dalam ayat Alqur’an: umat Muslim tidak pernah ragu untuk menyatakan bahwa secara kebahasaan sesuatu adalah Alhadits mau pun Alqur’an.
Ayat Alqur’an adalah setiap pernyataan yang di dalamnya terkandung begitu banyak keajaiban, susunan tata bahasa yang amat agung, dan keteraturan ritmik yang luar biasa. Ayat Alqur’an adalah ayat yang darinya semua Muslim dapat merasakan melalui susunan baik bahasanya mau pun gramatikanya, bahwa Tuhan sedang berbicara dengannya tanpa ada satu pun perantara.
Tuhan mempunyai cara yang amat berbeda dalam menyatakan suatu hal dan itu dirasakan seutuhnya oleh manusia mana pun dalam Alqur’an. Setiap ayat Tuhan (ayat Alqur’an) mengandung percikan-percikan Illahi yang begitu intim, kental akan unsur syair yang menggugah perasaan; suatu keteraturan kata-kata yang menimbulkan extacy rohani
Kehidupan kaum Muslim di seluruh dunia tidak pernah ditandai dengan adanya ketakutan akan tercampurnya antara ayat Tuhan dengan perkataan Muhammad Saw. Namun kemudian akan timbul pertanyaan: mengapa ketakutan itu justru ada pada Muhammad Saw?
Ketakutan Muhammad Saw sebenarnya membawa pertanyaan itu kepada satu keadaan lain mengenai bagaimana dan apa bahasa yang ia gunakan dibandingkan dengan bahasa yang digunakan Alqur’an. Muhammad Saw, pembawa Islam itu sendiri yang Alqur’annya diklaim berasal dari Tuhan, mengira bahwa terdapat persamaan yang kuat antara bahasa yang digunakannya –Saw- sehari-hari dengan bahasa dalam Alqur’an. Untuk itu ia merasa pantas untuk takut jika Alhadits dituliskan seperti keharusan penulisan pada Alqur’an. Sungguh, Muhammad Saw sama sekali tidak mengetahui, bahwa biar bagaimana pun tidaklah sama antara bahasanya Saw dengan bahasa Alqur’an.
Bahasa Arab yang digunakan Muhammad Saw diidentifikasikan sebagai bahasa level tertentu di kalangan bangsawan Mekkah, yang sebenarnya juga digunakan secara luas oleh mereka yang menjadi bangsawan mau pun di kalangan sastrawan.
Berarti, bahasa apa pun yang digunakan Muhammad Saw kala itu, maka itu semua akan terdengar seutuhnya sama jika bahasa tersebut dituturkan oleh semua shahabatnya, atau pun musuh-musuhnya. Namun kemudian munculnya Alqur’an sama sekali tidak mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan bahasa mereka sendiri mau pun bagaimana cara mereka memandang bahasa mereka, Arab.
Yang jelas, ternyata Alqur’an berada dalam suatu gaya bertutur bahasa Arab yang tidak ada satu pun manusia yang pernah menuturkannya, tidak itu juga Muhammad Saw yang walau pun sebenarnya adalah pembawa dari Alqur’an itu sendiri. Ini pun diperparah dengan ketidaktahuan beliau bahwa ternyata Alqur’an berada dalam gaya berbahasa yang tidak pernah bisa disamakan dengan manusia mana pun: Muhammad Saw sama sekali tidak pernah menyadari bahwa bahasanya –Saw- dengan bahasa Alqur’an, jauh berbeda. Ia hanya mengira, selama ia –Saw- dan semua shahabatnya bisa mengerti makna kata per kata ayat-ayat Alqur’an, maka selama itu mereka (Muhammad Saw dengan semua shahabatnya mau pun seluruh warga Arab) memandang bahwa bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa yang digunakan Alqur’an, sama. Kemudian asumsi yang ada pada diri Muhammad Saw tersebut membuatnya mengeluarkan titah pelarangan atas penulisan Alhadits.
Pada akhirnya, ketakutannya amat tidak berdasar sama sekali.
_.:oTo:._
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa validitas suatu kitab suci sebagai Firman Tuhan –yang berasal dari Tuhan- hanya dapat dibuktikan dengan terkucilkannya kitab suci tersebut dari semua hirarkhi bahasa manusia, pun manusianya sendiri yang mengusung kitab suci tersebut tiada menyadari bahwa sebenarnya antara bahasa mereka, dengan bahasa kitab suci tersebut sama sekali berbeda dalam hal struktur dan gramatikanya.
Alqur’an telah berhasil membuktikan bahwa kitab suci tersebut memang berasal dari Tuhan mengingat semua manusia yang mengusung kitab suci tersebut, termasuk Muhammad Saw-nya berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan Alqur’an. Tidak bisa tidak, sebenarnya Alkitab berbicara dalam bahasa manusia juga, pun struktur dalam bahasa tersebut seutuhnya sama dengan bahasa manusia kala itu.
Jika suatu kitab suci mempunyai struktur bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan manusia yang mengusungnya, maka sebenarnya kitab suci tersebut dapat dibuktikan sebagai kitab yang lahir dari cita-cita manusia belaka: suatu kitab yang terlahir melalui selera lisan manusia. Sebenarnya, hanya Alqur’an yang dapat dikecualikan dengan sistem tersebut.
Lebih dari itu, semua Muslim mana pun akan merasakan bahwa tidak akan pernah ada satu manusia pun yang dapat berbicara dalam gaya Alqur’an. Ketinggian pengetahuian atas nilai Islam, tingkat kesarjanaan dalam lingkungan Islam mau pun ketinggian suatu kesalehan dalam Islam sama sekali tidak mempunyai hubungan apa pun dengan kemampuannya untuk berbicara dengan menggunakan gaya Arab Alqur’an. Pendek kata, tidak ada dan tidak akan ada satu manusia pun yang dapat berbicara dengan menggunakan bahasa Alqur’an. Bahkan Muhammad Saw pun tidak pernah berbicara dengan menggunakan bahasa Alqur’an.
Oleh karena itu klaim Ilmu kebahasaan dunia yang memfokuskan perhatiannya pada bahasa yang digunakan dalam kitab suci dunia bahwa bahasa yang digunakan dalam Alqur’an dianggap telah mati sebagaimana matinya pula semua bahasa kitab suci dunia lainnya, maka itu tidaklah benar seutuhnya. Saatnya telah tiba bagi dunia Ilmu Pengetahuan untuk melihat kenyataan yang amat agamawi bahwa justru tidak pernah ada satu manusia pun yang pernah menggunakan bahasa Alqur’an tersebut.
Jika Muhammad Saw sendiri tidak pernah menggunakan bahasa Alqur’an, maka aman untuk menyatakan bahwa di sekitarnya tidak akan pernah ada juga individu yang menggunakan bahasa tersebut. Di lain pihak ini jelas menjadi bukti bahwa Alqur’an memang berasal dari Tuhan: bahasanya yang terkucilkan dari lingkungan tradisi bahasa manusia mana pun, hanya menunjukkan hal tersebut. Selebihnya, Alkitab tetap akan diklaim sebagai kitab suci yang lahir dari pekerjaan manusia.
Melalui …….
- kasus ketakutan Muhammad Saw akan tercampurnya antara kata-katanya sendiri dengan ayat-ayat Alqur’an di satu pihak,
- dan ternyata ketakutan Muhammad Saw itu tidak pernah berdasar sama sekali karena …
- ternyata terdapat perbedaan yang amat kentara antara bahasa manusia (Arab Muhammad Saw dan siapa pun) dengan bahasa Alqur’an dalam segi susunan dan gaya bahasanya,
- dan ternyata tidak ada penggalan sejarah secuil pun yang memaparkan pernah terjadinya pencampuran yang amat fatal antara Alqur’an dengan Alhadits,
- dan juga ternyata pada rentang masa mana pun tidak ada satu pun manusia yang dapat bertutur bahasa dengan menggunakan bahasa Alqur’an, …..
…… justru menunjukkan dengan amat tegas bahwa ternyata Alqur’an bukanlah hasil karya manusia mana pun.
Teori pembahasaan dan validitas suatu kitab suci seperti yang terjadi pada Alqur’an tak dapat digagalkan dengan klaim keaslian oleh Alkitab sebagai kitab Tuhan.