Negara Hukum Rimba
Oleh Reza A.A WattimenaFakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Di Indonesia, kita hidup selalu dalam situasi ekstrem. Ketika Orde Baru berkuasa, tatanan politik dipaksa untuk stabil oleh militer. Stabilitas politik tercipta, namun memang bersifat semu dan sementara, karena berada di bawah todongan senjata. Kini di era Reformasi, kita hidup dalam anarki. Ketidakpastian menjadi raja, dan stabilitas nyaris hanya menjadi cita-cita.
Krisis Bangsa
Pelanggaran hukum terjadi setiap saat, namun hukuman yang menjamin keadilan tak kunjung datang. Pencuri terus mencuri, dan lolos dengan menyuap para penegak hukum. Provokator massa justru dijunjung tinggi, karena ia bergerak atas nama agama. Perusak kehidupan ratusan ribu orang kini justru mencalonkan diri menjadi pemimpin bangsa.
Pengadilan korupsi berubah menjadi tontonan massa. Keadilan tak juga terwujud, karena hukuman yang diberikan terlalu ringan, dan bahkan lubang untuk melakukan suap bertebaran tanpa bisa dikontrol. Inilah yang disebut sebagai tebang pilih, ketika hanya kasus-kasus korupsi yang sensasional yang selidiki, sementara tindak korupsi lainnya, yang jauh lebih luas dan mengakar, lolos dari pandangan mata publik.
Pelaku tindak kriminal lolos dari genggaman penegak hukum. Kepastian hukum hanya omong kosong belaka. Bahaya mengincar di segala tempat. Masyarakat hidup dalam rasa takut dan gelisah, karena setiap detik terancam kehilangan nyawa. Di dalam situasi ini, kita lebih tepat disebut sebagai ‘negara hukum rimba’.
Tenaga kerja Indonesia di luar negeri terus mengalami penindasan dan ketidakadilan. Beberapa dihukum mati, tanpa melalui proses peradilan yang terbuka. Hak-hak asasi diinjak-injak, karena bangsa kita dianggap lemah di mata negara lain. Pemerintah tak berdaya, malah justru ikut mempersulit warganya sendiri dengan lingkaran birokrasi yang seringkali tak masuk akal.
Dunia pendidikan pun juga ikut menyiksa rakyat. Jutaan anak mengalami tekanan mental yang begitu dalam, karena mereka harus mengikuti ujian nasional yang, jika dipikir lebih dalam, tidak berfaedah apa-apa untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Yang diuji bukan analisis ataupun sikap kritis, tetapi kemampuan menghafal fakta-fakta yang tak banyak gunanya di kehidupan nyata, khususnya di masa hadirnya Prof. Google di internet.
Arah bangsa kita tak jelas. Para pemimpinnya terpesona oleh harta dan kuasa, serta lupa mengusahakan kebaikan bersama. Para penegak hukum seolah tak punya otot dan nyali untuk menerapkan hukum yang sudah tertulis dengan seadil mungkin. Kita mengalami krisis jiwa bangsa.
Pada level politik, kepentingan sesaat untuk harta dan kuasa menjadi raja. Kepentingan menyandera niat baik, sehingga ia tak lagi menjadi bagian dari hidup bersama. Kepentingan sesaat menyandera demokrasi, sehingga tak lagi mampu menyuarakan kepentingan rakyat yang sesungguhnya, tetapi hanya kepentingan elit, ataupun kepentingan mayoritas yang tak berpikir.
Para penguasa politik tidak mengabdi pada rakyat, melainkan pada hasrat kepuasan mereka sendiri. Kepentingan sesaat bagaikan Tuhan yang harus disembah, sementara keberpihakan pada kepentingan bersama hanya menjadi retorika kosong semata. Orang miskin dan kelompok minoritas hanya bisa tabah mengelus dada, karena hampir setiap saat harus menelan pil pahit ketidakadilan.
Negara Hukum Rimba
Politik Indonesia adalah politik hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang akan memperoleh segalanya. Siapa yang mayoritas, dialah yang akan menentukan kebijakan untuk semuanya, walaupun ketidakadilan terasa di seluruh getar nadir diri. Siapa yang berharta berlimpah, dialah yang akan menikmati surga dunia, walaupun harus mengorbankan sesamanya yang terus hidup menderita. Mereka yang cacat, kelompok minoritas, dan miskin harus mempersiapkan hati untuk terus hidup dalam kekecewaan.
Ekonomi Indonesia adalah ekonomi hukum rimba. Perusahaan-perusahaan multinasional mengeruk habis kekayaan bangsa, tanpa perlawanan dari pemerintah yang berkuasa. Orang Indonesia masih terpesona dengan orang asing, sehingga untuk pekerjaan yang sama, dan tanggung jawab yang sama, orang asing mendapatkan upah yang jauh lebih tinggi dari orang Indonesia yang bekerja di tanah air mereka sendiri. Ironi yang sampai sekarang belum bisa saya pahami.
Dalam konteks pendidikan, berbagai institusi berlomba untuk menggunakan kata “internasional”. Padahal, tidak ada yang berubah dalam kurikulum dan paradigma pendidikan. Yang berubah hanya bahasanya saja, yakni bahasa Inggris. Dunia pendidikan di Indonesia kehilangan karakter lokalnya, dan terus berusaha menjilat pendidikan luar negeri yang belum tentu baik untuk kemajuan bangsa.
Pendidikan kita pun adalah pendidikan hukum rimba. Pendidikan hanya mengabdi pada si kaya. Sementara si miskin mendapatkan pendidikan “sampah”, atau bahkan tak mendapatkan pendidikan sama sekali. Pendidikan hanya untuk si pintar. Sementara si “bodoh” dipaksa hidup dalam sistem sosial yang sama sekali tak menghargai martabat dirinya.
Beasiswa diberikan, tetapi hanya untuk si pintar. Si “bodoh”, namun kaya, mungkin bisa melanjutkan pendidikan, walaupun tak maksimal. Namun, banyak juga orang yang tidak hanya miskin, tetapi juga “bodoh”. Untuk orang-orang semacam itu, kepedihan, kekecewaan, dan ketidakadilan sistemik adalah pil hitam kehidupan yang harus selalu mereka telan bulat-bulat.
Di tengah situasi semacam ini, reformasi tidaklah cukup. Reformasi berarti membetulkan sebuah sistem yang memang dari dasarnya sudah rusak. Jadi, reformasi berarti memperkuat apa yang sudah rusak, yang berarti juga menciptakan kerusakan yang lebih dalam. Yang kita butuhkan sekarang adalah revolusi, yakni perubahan yang cepat, mendadak, mengakar, dan menyeluruh di seluruh sistem-sistem sosial di Indonesia. Siapa yang bisa melakukannya?