Sidang Isbat, Perlukah?
“SIDANG Isbat adalah sidang basa basi, keputusannya sudah ada, tinggal ketok palu. Sidang isbat hanya menghabiskan uang rakyat.”
Itulah pernyataan Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah. Sungguh mencengangkan.
Setiap tahun kita selalu disuguhi berita tentang sidang itsbat, pada umumnya sidang itsbat ini terjadi pada saat menentukan awal ramadhan dan Lebaran Idul Fitri.
Sidang penentuan awal puasa bukan sidang main main. Berapa jumlah anggaran yang dihabiskan untuk membiayai sidang ini terkait pengumpulan data dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia untuk kepentingan “sidang”. Seandainya ucapan Din Syamsudin ini disangkal oleh Departemen Agama, maka Depag haruslah memberikan klarifikasi kepada rakyat Indonesia, pemeluk agama islam pada khususnya, bahwa sidang isbat yang setiap tahun digelar adalah benar-benar untuk kepentingan rakyat, sama sekali bukan kepentingan politis.
Bila dilihat secara garis besar terjadi dua perbedaan antara cara NU dan Muhamadyah dalam hal ini. Yang satu dengan melihat langsung hilal yang satunya dengan perhitungan. Tetapi menariknya secara umum keduanya dapat diterima dalam kehidupan umat Islam. Artinya keduanya dapat dianggap benar dalam pandangan Islam.
Tapi, dalam hal ini, perlukah Negara dalam hal ini Kementrian Agama melakukan Sidang Itsbat? Sudah sewajarnya negara mampu memberikan kepastian kepada warganegaranya, khususnya umat muslim. Lantas, dengan sidang itsbat apakah memberikan kepastian? Tentu saja, tetapi kepastian tersebut sangat sempit waktunya untuk disiarkan kepada umat muslim dan semua warga negara. Ingat kejadian tahun lalu? Kebanyakan umat Islam negara ini sudah mempersiapkan keperluan lebaran untuk esok hari. Apa daya, lebaran diputuskan jatuh lusanya.
Dalam kehidupan yang semakin maju ini, kepastian jauh jauh hari sangatlah penting. Hasil sidang itsbat ini juga akan mempergaruhi banyak hal seperti menentukan perencanaan bisnis, operasional pabrik, perjalanan, dan sebagainya. Jadi pada saat sekarang ini tidak hanya tertuju pada pelaksanaan puasa dan waktu lebaran semata.
Bila kedua cara di atas dianggap benar, tentulah sepantasnya negara mengikuti cara yang mampu memberi kepastian jauh sebelum waktunya.
Bila sudah ada kepastian jauh sebelum hari H-nya, tentu pada akhirnya negara tidak perlu mengadakan sidang isbat lagi. Hanya bila negara memilih cara perhitungan tidak perlu dijelaskan dengan alasan karena mengikuti metode ormas tertentu. Di sisi lain, bila ada sebagian masyarakat muslim tetap melakukan cara melihat hilal, tentu itu menjadi pilihan “mereka” sendiri, negara tetap menghormatinya tetapi hal itu sudah tidak lagi menjadi kewajiban bagi negara. [sa/islampos/berbagai sumber]
Label:
Info unik,
Serba Serbi