Separuh Dari Kita Hidup dengan Masa Lalu
SEPARUH dari kita hidup dengan masa lalu.
Itu sebabnya mungkin Facebook sangat populer dan digemari. Di Facebook, orang tidak semata-mata bisa bersikap narsis dengan menyimpan segala status yang sering kali tak penting dan malah menunjukkan betapa—meminjam istilah Andrea Hirata—sakit jiwanya kita ternyata, karena selalu berharap, seseorang yang lain akan memberikan komentar pada beberapa kata yang kita simpan di dinding kita.
Di Facebook, alakuli haal, kita bisa menemukan orang-orang di masa lalu. Mulai dari teman waktu TK, SD, sampai perguruan tinggi, sekaligus teman-teman baru yang disebut dengan “menyambung silaturahmi tiba-tiba” itu, kemudian pada sebuah titik menemukan cinta-cinta monyet dan tak serius waktu SMA dan sebagainya, yang tiba-tiba saja, menautkan hati dan pikiran kita; betapa indahnya masa muda kita. Syukur-syukur ada orang yang mengunggah sebuah gambar yang ada kitanya di masa lalu. Bersama-sama dengan potongan rambut cepak a la Demi Moore di Ghost, Keanu Reaves di Speed atau para pemuda tanggung namun cute di NKOTB dan Beverly Hills 90210.
Separuh hidup kita hidup dengan masa lalu, itu sebabnya mungkin sebagaimana pun amburadulnya musik sekarang ini, maka hanya lewat begitu saja di telinga kita. Misalnya saja lagu-lagu metropop melayu yang kata Rolling Stone Indonesia sebagai “bencana besar musik Indonesia” karena tidak menyajikan komposisi musik yang cukup bertanggung jawab dan sebagainya. Kita tidak pernah tertarik untuk memasang RBT Zhivilia, ST 12, dan sebagainya—dan biarlah, yang mendengarkan dan menyanyikan lagu mereka hanyalah ABG yang baru berusia 14 sampai 19 tahun!—dan thanks God masih ada Hijau Daun dan Andra and The Backbone, dan, Tuhan!, apa gerangan yang ada di pikiran bule-bule yang ikut dalam proyek Ahmad Dhani yang bernama The Rock itu?
Saya berani bertaruh, jika kita mempunyai uang lebih senilai Rp 50.000 dan kita pergi ke toko CD—karena toko kaset sudah lama tergerus zaman, maka kita akan memilih mungkin kaset KLA Project, Indra Lesmana atau bisa jadi Nike Ardilla, U2 selain album No Line On The Horizon, Nirvana, Toto, Boyzone dan sebagainya lagi. Karena lagu-lagu mereka, sekali lagi, memberikan nuansa tertentu yang menghanyutkan kita pada pikiran yang sering kali terus mengais-ngais masa lalu.
Itu sebabnya mungkin, sekarang ini, reuni menjadi begitu populer, apalagi bada Idul Fitri. Tak kurang, saya saja yang tak populer di masa lalu, sekarang ini mendapat empat undangan agenda reuni. Ketika melintasi jalanan kota saya yang kecil, begitu pula spanduk dan pengumuman dari berbagai angkatan, berbagai institusi pendidikan, berbagai okasi dan sebagainya, memajang ajakan untuk berkumpul. Reuni itu.
Entah mengapa, saya malah mempunyai pengalaman yang cukup buruk dengan reuni. Atau setidaknya berpikiran buruk. Atau setidaknya, pola pikir saya yang generik namun agak sedikit sinikal—mudah-mudahan bukan karena hasad atau iri dan dengki. Sedikit demi sedikit, saya merasa polarisasi reuni mengarah pada, walau bagaimanapun, tidak diperuntukkan bagi mereka yang tidak “berhasil secara materi” dalam kehidupannya. Reuni selalu dipenuhi oleh mereka yang sudah bekerja mapan, bermobil, rata-rata ber-Blackberry atau ponsel high-end lainnya, mempunyai jabatan dan pekerjaan yang tinggi. Mungkin itu seleksi alam. Atau mungkin itu hanya perasaan saya saja yang tadi—terlampau perasa.
Saya juga merasa bahwa reuni tidak berjalan dan tak mempunyai tujuan tertentu. Hanya sekadar ngumpul, makan-makan, ngobrol dan bertemu selewat dengan teman-teman lama, kemudian mengambil foto untuk diunggah ke Facebook. Saya sendiri, tak begitu mempunyai gagasan lain, mau apa kemudian reuni-reuni itu, semoga teman-teman saya yang lama mempunyai pikiran dan niat dan dimensi yang lebih mulia daripada saya.
Sebelum Ramadhan, saya dengan keluarga bersilaturahmi ke beberapa guru SMA. Di antaranya adalah seorang guru kesenian yang juga dulu pembina OSIS dan sekarang terkena penyakit stroke. Kami berbincang cukup lama dan I dare say, it was a moment of rather personal for me, karena ternyata Maha Besar Allah!, ia masih mengingat saya—jelas itu sesuatu yang luar biasa, karena mungkin guru sangat mungkin untuk lupa kepada muridnya, tapi tidak ada seorang pun murid yang lupa kepada gurunya.
Kemudian, sebelum Lebaran, saya dan beberapa teman juga bersilaturahmi kepada guru SMA yang lain. Beliau bercerita berapi-api, persis seperti ketika beliau masih mengajar kami, namun sekarang lebih terdengar agak berat mungkin karena usianya juga: “Kemarin Bapak menghadiri reuni dengan angkatan lain, dan mereka memberikan sebuah HP kepada semua guru. Menurut Bapak, daripada bagi-bagi hadiah seperti itu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada apa yang telah diberikan mereka kepada kami, alangkah lebih baiknya dana berlebih yang ada itu dikumpulkan dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Atau setiap reuni yang diadakan bisa membentuk suatu kumpulan dimana orang yang sudah berhasil berkomitmen membantu mereka yang masih nganggur, masih belum mapan…”
Masalahnya Bapak, satu golongan terakhir yang disebutkan itu, tidak pernah datang ke acara reuni.
Sumber
Label:
Renungan