Kisah pertama
Kisah ini dimulai dari impian setetes air yang berada di angkasa raya. Dalam ketermenungannya, dia punya ambisi untuk mencapai samudera dan menjadi salah satu tokoh penting di sana. Langkahnya dimulai dari angin. Maka dia menumpang angin untuk bisa bergabung dengan awan. Langkah ini dipilih untuk bisa turun ke bumi dengan jutaan air lainnya. Tiba-tiba awan bermuatan negatif dan awan bermuatan positif, saling berbenturan di angkasa dan terjadilah semburat kilat yang menggelegar. Setetes air itupun terpelanting dengan jutaan air lainnya turun dengan deras menuju bumi.
Sang air mendarat di atas sebuah rumah. Dengan gigih, dia memimpin beberapa tetes air untuk terus bergerak dan menuruni genting. Tapi tiba-tiba di genting yang kedelapan, kaki sang air terpeleset karena genting itu yang renggang. Diapun terjatuh. Badannya melayang dan jatuh di atas langit-langit. Dia berusaha untuk terus turun. Namun, malang nian, dia hinggap diatas panci dapur yang panas di atas api. Rupanya sang pemilik rumah sedang memasak. Badan si tetes air pun jatuh di atas panci dan menggeliat kepanasan. Belum selang satu menit dia pun habis menguap di udara.
Perjuangan dan impian tidak bisa diraih secara langsung. Kegagalan sering menghinggapi siapapun yang berusaha mendapatkan kesuksesan. Gagal itu biasa, tapi bangkit dari kegagalan baru luar biasa. Setetes air telah mencari jalannya dan kegagalanlah yang dia peroleh, bukan kesuksesan.
Kisah kedua
Sang air dengan tubuhnya yang telah jadi uap berusaha kembali menyatukannya dan diangkasa raya dia berhasil kembali berubah jadi setetes air kembali. Kali ini di perjalanan keduanya untuk menjadi setes air yang penting di samudera luas, air itu tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Diapun kembali bergabung dengan awan dan turun ke bumi. Kembali dia terdampar di atas atap sebuah rumah. Dia tidak mau terjatuh pada lubang yang sama. Diapun berhasil melewati genting dan terjatuh dengan puluhan tetes air yang berhasil dipimpinnya. Kali ini kenyataanya, ternyata di bawah ada ember yang sangat besar dan diapun terdampar di sana. Hujan berhenti. Si tetes terjebak di dalam ember.
Satu hari terlewati, dua hari terlalui, dan minggu pun berganti. Si tetes air berpikir dan berusaha dengan keras mencari jalan keluar. Kesabaran dan kegigihannya, mengantarkan dia pada bocor di bawah ember. Bocor itu sangat kecil sekali, hanya rembesan air yang mampu keluar. Si tetes air memimpin teman-temannya untuk keluar bergantian dengan sabar. Ember besar yang berisi air pun akhirnya berhasil keluar.
Dalam tiap kesulitan pasti ada jalan keluar, hanya kita harus sabar untuk mencarinya. Tidak peduli sebesar apa kesulitan dalam berwirausaha, seandainya kita lebih gigih dan sabar niscaya kita menemukan solusinya.
Kali ini si tetes air masuk ke selokan dan sungai. Dia terus mengalir mencari arahnya. Dia akan berubah bulat atau lonjong jika dia terdampar di genangan air atau danau, maka dia akan terus berubah seperti tempat yang menampungnya. Dia terus mencari tempat terendah dan menuju muara di lautan. Dia berusaha melewati beribu rintangan yang terus menghadang dan menaklukan cobaan yang terus berganti. Satu tahun, dua tahun, hingga 3 dekade telah terlewati. Si tetes air kini menemukan jalannya, dia berada di tengah samudera dengan memimpin jutaan dan milyaran air untuk terus meneruskan tugasnya menjaga keseimbangan alam semesta.
Butuh waktu panjang untuk mencapai kesuksesan, kesabaran dan keuletan akan benar-benar diuji. Hanya pedang yang tajamlah yang mampu melawati banyak cobaan. Dibakar, ditempa dan diasah. Hanya pengusaha yang sukses yang mampu melewati berbagai dinamika bisnis.
Kisah ketiga
Ternyata, samudera bukanlah tempat yang tenang. Samudera selalu bergejolak. Banyak badai yang terjadi hampir setiap hari dan matahari menyengat memaksa air di samudera menguap untuk diubah kembali jadi awan. Si tetes air mengalami terus tempaan. Tiada akhir dari perjuangan, hanya kematian dan ketiadaan yang mampu menghentikannya. Itu pasti dan akan terlalui hanya soal waktu. Waktu yang akan menjemput si tetes air ke singgasana keabadian di kahyangan nanti. Waktu tersisa dalam kedigjayaan si tetes air adalah waktu dimana harus tetap mawas diri. Kalau mau murca, dalam keadaan khusnul khotimah.
Kesuksesan sering melupakan kita dari mana kita dahulu memulai. Cita-cita mulia yang diangankan banyak berubah ketika mencapai kedigjayaan. Meski kita berasal dari bawah, tetapi ketika berada di atas kita sering melupakan segala jalan yang pernah ditempuh.