Disadur dari buku :
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
RUMAH TANGGA YANG SERASI
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi'tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan ke¬laparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegak¬kan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, da¬tang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., be¬rupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Puteri Kesayangan
Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fati¬mah Azzahra r.a. adalah puteri bungsu yang paling disayang dan di¬kasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:
"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyu¬sahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…"
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melain¬kan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu meru¬pakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. me¬nyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir ter¬hadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman, hi-dayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ke¬tegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjua¬ngan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna mengha¬dapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup ber¬sama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dengan ke¬pala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. se¬gera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu me¬nyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Mu¬hammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelai-be¬lai kepala puteri bungsunya itu, berkata: "Jangan menangis..., Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-¬musuh agama dan risalah-Nya"
Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta keper-cayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahan¬danya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu'aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlu¬muran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air sambil menangis.
Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada wak¬tu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: "Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah 'Uqbah bin Mu'aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf"
Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan ke¬benaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Ke¬hidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.
Hijrah ke Madinah
Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai memper¬siapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau ber¬hijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hen¬dak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-¬barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemilik¬nya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut ber¬gabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-¬buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat de¬ngan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala ke¬mungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan ber¬kuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurun¬kan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupa¬nya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimenger¬ti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan me¬reka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qu¬reiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: "Hai penipu, apa¬kah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: "Kalau aku tidak mau ber¬buat itu...?"
"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wa¬nita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak me¬mukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sem¬pat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah men¬jadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetar¬kan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyem¬bah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul sau¬daraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-¬robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju men¬dekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu se¬gera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anak¬nya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Ber¬sama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. be¬serta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. mem¬beritahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendara¬an sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya ti¬balah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-o¬rang yang disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau me¬rangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.
Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Ber¬hubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.
Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muha¬mmad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersun¬ting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Kha¬tab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"
Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: "Hai Ali, engkau ada¬lah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada¬lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mem¬persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di¬tolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserah¬kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga se¬karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un¬tukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber¬linang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang se¬mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka¬rena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!"
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. ber¬hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang me¬ngetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab: "Bangunlah dan bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-¬Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?"
"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Mu¬hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: "Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya eng¬kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!"
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: "Maafkan¬lah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?'' .
"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka¬rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska¬win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wa¬jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwa¬yat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwa-sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra¬sul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang se¬buah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah di¬dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din¬ding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite¬mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me-nemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan¬nya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu¬dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fon¬dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba me¬gah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh ke¬banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per¬nah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sang¬gup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya ha¬rus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu be¬kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sen¬diri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tena¬ga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya se¬dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber¬sama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukis¬kan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu¬ah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat ke¬lak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan ku¬gantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa berat¬nya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggu¬pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang pe¬nuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga¬nya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Ra¬sul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan menguman¬dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita¬nya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
"Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggi¬ling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan¬dum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!"
Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran ten¬tang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong--royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa se¬derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang diba¬ngun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itu¬pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ke¬tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge¬hendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tau¬ladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebena¬ran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pen¬didik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan men¬didik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat di¬lihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih ber¬kesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-ta¬ngannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak ber¬hasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud ke¬datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberi-tahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Ra¬sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting ten¬tang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor da¬lam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan keber¬sihan pribadi dalam kehidupan ini.
Putera-puteri
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan ter¬sendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau ke¬pada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pah¬lawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan mem¬bangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupa¬kan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali pera¬nannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepe¬ninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wa¬fatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Is¬lam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil 'Ashiy. Ia anak perem¬puan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak pe¬rempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya.
Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayani¬nya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayat¬nya.
Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-¬Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin Mas'ud dan Muhayah bin¬ti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedang¬kan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebut¬nya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.
[1]Hasyim Ma' ruf A1 Huseiniy: "Siratul Musthafa", hlm 205, cetakan ke I.
[2]Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan, bahwa di kemudian hari ia me¬nyaksikan sendiri tiga orang itu mati terbunuh dalam perang Badr. Hasyim Ma'ruf A1 Huseiniy: Siratul Musthafa. Dikutip dari At Tha¬bariy, hlm 47.
[3]Ibnul Atsir: "Al Kamil Fit Tarikh", jilid II, hlm 206.
[4]"Ahlul Bait" Asy'-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.
[5]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, hlm 230.
[6]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, halaman 230. "Ahlul Bait" Asy'-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.
Wassalam,
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
RUMAH TANGGA YANG SERASI
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi'tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan ke¬laparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegak¬kan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, da¬tang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., be¬rupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Puteri Kesayangan
Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fati¬mah Azzahra r.a. adalah puteri bungsu yang paling disayang dan di¬kasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:
"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyu¬sahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…"
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melain¬kan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu meru¬pakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. me¬nyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir ter¬hadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman, hi-dayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ke¬tegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjua¬ngan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna mengha¬dapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup ber¬sama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dengan ke¬pala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. se¬gera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu me¬nyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Mu¬hammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelai-be¬lai kepala puteri bungsunya itu, berkata: "Jangan menangis..., Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-¬musuh agama dan risalah-Nya"
Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta keper-cayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahan¬danya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu'aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlu¬muran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air sambil menangis.
Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada wak¬tu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: "Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah 'Uqbah bin Mu'aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf"
Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan ke¬benaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Ke¬hidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.
Hijrah ke Madinah
Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai memper¬siapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau ber¬hijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hen¬dak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-¬barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemilik¬nya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut ber¬gabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-¬buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat de¬ngan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala ke¬mungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan ber¬kuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurun¬kan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupa¬nya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimenger¬ti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan me¬reka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qu¬reiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: "Hai penipu, apa¬kah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: "Kalau aku tidak mau ber¬buat itu...?"
"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wa¬nita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak me¬mukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sem¬pat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah men¬jadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetar¬kan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyem¬bah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul sau¬daraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-¬robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju men¬dekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu se¬gera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anak¬nya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Ber¬sama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. be¬serta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. mem¬beritahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendara¬an sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya ti¬balah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-o¬rang yang disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau me¬rangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.
Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Ber¬hubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.
Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muha¬mmad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersun¬ting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Kha¬tab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"
Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: "Hai Ali, engkau ada¬lah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada¬lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mem¬persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di¬tolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserah¬kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga se¬karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un¬tukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber¬linang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang se¬mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka¬rena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!"
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. ber¬hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang me¬ngetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab: "Bangunlah dan bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-¬Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?"
"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Mu¬hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: "Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya eng¬kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!"
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: "Maafkan¬lah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?'' .
"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka¬rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska¬win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wa¬jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwa¬yat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwa-sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra¬sul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang se¬buah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah di¬dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din¬ding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite¬mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me-nemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan¬nya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu¬dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fon¬dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba me¬gah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh ke¬banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per¬nah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sang¬gup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya ha¬rus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu be¬kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sen¬diri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tena¬ga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya se¬dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber¬sama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukis¬kan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu¬ah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat ke¬lak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan ku¬gantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa berat¬nya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggu¬pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang pe¬nuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga¬nya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Ra¬sul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan menguman¬dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita¬nya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
"Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggi¬ling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan¬dum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!"
Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran ten¬tang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong--royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa se¬derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang diba¬ngun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itu¬pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ke¬tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge¬hendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tau¬ladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebena¬ran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pen¬didik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan men¬didik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat di¬lihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih ber¬kesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-ta¬ngannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak ber¬hasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud ke¬datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberi-tahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Ra¬sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting ten¬tang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor da¬lam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan keber¬sihan pribadi dalam kehidupan ini.
Putera-puteri
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan ter¬sendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau ke¬pada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pah¬lawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan mem¬bangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupa¬kan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali pera¬nannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepe¬ninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wa¬fatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Is¬lam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil 'Ashiy. Ia anak perem¬puan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak pe¬rempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya.
Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayani¬nya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayat¬nya.
Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-¬Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin Mas'ud dan Muhayah bin¬ti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedang¬kan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebut¬nya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.
[1]Hasyim Ma' ruf A1 Huseiniy: "Siratul Musthafa", hlm 205, cetakan ke I.
[2]Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan, bahwa di kemudian hari ia me¬nyaksikan sendiri tiga orang itu mati terbunuh dalam perang Badr. Hasyim Ma'ruf A1 Huseiniy: Siratul Musthafa. Dikutip dari At Tha¬bariy, hlm 47.
[3]Ibnul Atsir: "Al Kamil Fit Tarikh", jilid II, hlm 206.
[4]"Ahlul Bait" Asy'-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.
[5]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, hlm 230.
[6]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, halaman 230. "Ahlul Bait" Asy'-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.
Wassalam,